KOMPAS.com - Belakangan ini terdengar kabar terkait pemberlakukan pajak yang akan dibebankan kepada para pemilik sepeda di Indonesia.
Hal itu tentu mengejutkan para pengguna sepeda, khususnya mereka yang baru saja membeli sepeda untuk kebutuhan olahraga di tengah pandemi.
Namun, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa pajak sepeda sudah ada sejak zaman dulu, tepatnya di era kolonial.
Sejarah pajak sepeda
Sejak tahun 1930-an, pemerintah kolonial sudah menerapkan pajak kepada tiap pemilik sepeda, dengan peneng dipasang di bagian depan sepeda.
Peneng, atau juga dikenal dengan nama plombir, adalah materai yang berasal dari timah, kertas, bahan plastik, dan bahan lain yang merupakan tanda bahwa kita telah membayar pajak kendaraan.
Plombir dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk menarik pajak dari kendaraan seperti sepeda, becak, dan andong.
Besarnya pajak sepeda berbeda-beda di setiap wilayah, dan pemerintah kolonial memungut pajak ini untuk merawat jalan raya.
Setelah itu, pemerintah pendudukan Jepang tetap mempertahankan penerapan pajak demi membiayai perang.
Pengumuman terhadap besaran dan batas waktu pembayaran pajak sepeda muncul di surat kabar, dan cara ini bertahan hingga Indonesia merdeka.
Hanya saja, tujuan penggunaan pajak kembali seperti semula, yaitu untuk merawat jalan.
Meski pengguna sepeda tidak memerlukan surat izin mengemudi, mereka wajib mengikuti aturan bersepeda, serta pembayaran pajak.
Mereka yang melanggar aturan bersepeda akan diganjar hukuman dari pemerintah, berupa penjara, denda, dan penghentian operasional sepeda untuk sementara waktu.
"Semua sepeda yang tidak memakai peneng tahun 1950 di jalanan umum akan ditahan," ucap R. Soewirjo, mantan Walikota Jakarta seperti dikutip dalam Java Bode.
Penerapan pajak sepeda mulai longgar seiring berkurangnya jumlah sepeda di kota-kota besar di Indonesia pada 1970-an.