Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/06/2021, 16:03 WIB
Sekar Langit Nariswari,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

Sumber WebMD

KOMPAS.com - Ivermectin mendadak viral, dan diburu di pasaran setelah disebut ampuh untuk mengobati pasien yang terinfeksi Covid-19.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir pertama kali mempopulerkannya dengan menyebutnya sebagai obat yang ampuh untuk terapi Covid-19.

Harganya juga dianggap murah, dan terjangkau untuk banyak kalangan.

Baca juga: Laris Diburu Online, Harga Ivermectin Capai Rp550.000 per Setrip

Kala itu, Erick menyebutkan, setiap tablet dijual dengan kisaran harga Rp5.000 sampai Rp7.000.

Karena murah, dan efektivitasnya tinggi, produksinya bakal digenjot hingga 4,5 juta butir per bulan.

Pernyataan pria yang sebelumnya dikenal sebagai pengusaha ini mengejutkan bagi banyak pihak. Pasalnya, Ivermectin selama ini dikenal sebagai obat infeksi akibat cacing gelang.

Selain itu, obat ini juga dipakai untuk keluhan scabies, penyakit kulit akibat kutu hewan.

Di sejumlah e-commerce, Ivermectin juga banyak dijual sebagai obat-obatan untuk hewan peliharaan, meski mereknya berbeda dengan yang dipakai manusia.

Jadi, apa sebenarnya ivermectin ini?

Penggunaan ivermectin sebagai pengobatan pasien yang terinfeksi Covid-19 sebenarnya masih mengundang pro kontra.

Berbagai pihak yang berkompeten belum satu suara terhadap manfaat obat ini.

Kebanyakan yang ragu beralasan belum ada data memadai yang bisa memastikan dosis maupun efek samping obat ini jika dipakai untuk menghalau Covid-19.

Meski demikian, BPOM RI telah menerbitkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinis (PPUK) untuk obat ini yang digelar di delapan rumah sakit berbeda.

Dikutip dari laman Web MD, -seperti disebut di atas, Ivermectin sebenarnya dipakai untuk mengobati infeksi cacing gelang atau jenis parasit tertentu lainnya.

Baca juga: Jubir Menhan Bantah Prabowo Konsumsi Ivermectin Tangkal Covid-19

Pada orang dengan sistem imunitas yang rendah, keberadaan cacing ini dapat meningkatkan risiko berkembangnya infeksi lainnya yang lebih mengancam jiwa.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com