KOMPAS.com - Kabar soal gempa Bantul membanjiri kanal pemberitaan maupun media sosial.
Bukan hanya pers, semua pihak berbondong-bondong ingin berbagi informasi terbaru soal kejadian bencana alam tersebut.
Berbagai unggahan foto dan video terkait beredar luas di media sosial yang sebenarnya bisa berdampak buruk pada kondisi emosional dan psikologis para korban maupun kerabatnya.
Baca juga: Gempa Magnitudo 6,4 Guncang Bantul, Plafon Auditorium Taman Budaya Gunungkidul Ambrol
Pemberitaan yang masif adalah hal yang pasti ketika ada berita duka, tragedi dan bencana yang menyedot perhatian publik.
Sayangnya, kabar duka seringkali direspon dengan kurang baik oleh warganet maupun pengguna media sosial di Indonesia.
Berdalih berbagi informasi, banyak konten tidak etis yang kemudian disebarkan lewat Facebook, Twitter maupun status Whatsapp.
Misalnya saja menyebarkan foto korban, mendramatisasi kesedihan keluarga maupun menyebarkan berita misinformasi atau disinformasi.
Baca juga: Oversharing di Media Sosial, Apa Dampaknya?
Banyak juga yang seketika menjadi pakar dengan memberikan analisis yang bersifat spekulatif serta tidak akurat.
Padahal, hal tersebut menandakan kurangnya empati terhadap korban karena eksploitasi konten tersebut.
Ketahui etikanya berikut ini yang dikutip dari cuitan Center for Digital Society (CfDS), pusat studi yang fokus pada teknologi digital di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Baca juga: Ekpresikan Duka di Medsos Boleh Dilakukan, asal Sadar Risikonya
Jangan terburu-buru menyebarkan konten yang mengeksploitasi emosi kesedihan, termasuk yang didramatisasi.
Misalnya video terakhir korban sebelum gempa terjadi, firasat atau menggunakan lagu yang sedih.
Konten bersifat kesedihan yang masif dapat menyebabkan trauma berkepanjangan, khususnya bagi korban dan keluarganya.
Baca juga: Tips Menyelamatkan Diri Saat Gempa Bumi