SETIAP tahunnya jutaan sarjana baru lahir. Namun, 5-8 tahun pertama dalam menapaki tangga karier tidaklah mudah.
Dalam praktiknya, mereka akan dihadapkan pada ketidakpastian, keraguan, kebimbangan, dan kegalauan yang tak berkesudahan.
Mereka mempertanyakan jalan mana yang harus mereka tempuh untuk memenangkan masa depan. Itulah periode yang penuh turbulensi. Fase ketika seseorang terombang-ambing di "persimpangan jalan".
Masa transisi yang membuat mereka merenungkan kembali terkait apa yang sebenarnya benar-benar mereka inginkan.
Situasi itu yang kita kenal dengan krisis seperempat baya atau Quarter-Life Crisis. Sebuah masa yang membuat anak-anak muda melontarkan beberapa pertanyaan mendasar seperti:
Krisis seperempat baya adalah istilah psikologi yang merujuk pada keadaan emosional anak-anak muda yang penuh dengan kekhawatiran, keraguan terhadap kemampuan diri, dan kebingungan menentukan arah hidup.
Krisis ini terjadi sebagai imbas dari tekanan dari dalam diri (internal) maupun pihak luar (eksternal) karena belum jelasnya tujuan hidup sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini, dan begitu banyaknya pilihan yang perlu diambil untuk menentukan "arah" masa depan.
Krisis seperempat baya adalah transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa yang menjadi "kejutan" bagi banyak orang. Itu bisa membuat setiap orang merasa tidak berdaya, tidak tahu apa-apa, ragu-ragu, dan takut.
Akan tetapi, mengalami krisis seperempat baya sejatinya adalah hal yang lumrah. Karena merupakan proses untuk menemukan jati diri atau terlahir menjadi "pribadi yang baru".
Melewati krisis seperempat baya memang begitu menguras emosi. Sebagaimana sebagian besar milennial Indonesia, saya menghabiskan 5 tahun pertama bekerja dengan menjadi "kutu loncat" alias berpindah-pindah kerja sekaligus profesi.
Saya dihadapkan kegalauan yang luar biasa ketika memutuskan jurusan kuliah S2. Yang tersulit tentu saja ketika memberanikan diri untuk melepaskan masa lajang.
Setelah mengambil masa Sabbatical selama lebih dari setahun, saya pun berhasil "menaklukkan" krisis seperempat baya.
Baca juga: Mengapa Sabbatical Penting?
Pengalaman tersebut saya terbitkan dalam buku berjudul Mantra Kehidupan: Refleksi Melewati Fresh Graduate Syndrome & Quarter-Life Crisis.
Sebuah buku yang berisi saripati pengalaman pribadi dan hasil riset yang melibatkan lebih dari 200 responden di 20 provinsi dan 27 kota di tanah air serta 8 kota di 7 negara. Mulai dari profesor, bankir, pengacara, pengusaha, guru, artis, hingga pemuka agama.
Berikut adalah jurus melewati Quarter-Life Crisis yang dapat diterapkan oleh generasi muda Indonesia.
Pertama, identifikasilah pemicunya. Ketika kita meluangkan waktu untuk mengidentifikasi apa yang membuat kita mempertanyakan diri sendiri dan merasa tidak tenang, kita akan mulai memahami bagaimana merasa lebih nyaman dan mengurangi perasaan itu.
Jika kita mulai menyadari ketakutan karena tidak mengetahui apa yang kita inginkan dalam hidup dan apakah kita membuat pilihan yang tepat atau tidak, kita bisa mulai merasa lebih nyaman.
Jika kita mulai memperhatikan sikap kita terhadap keputusan dan pilihan itu untuk hidup sendiri, maka kita dapat mulai mengubahnya dan menggantinya dengan yang positif.
Ketika kita mulai mengidentifikasi bahwa kita memberi tekanan pada diri sendiri untuk berada pada titik tertentu, kita dapat mulai menggantinya dengan pemikiran yang lebih rasional.
Misalnya, kita dapat mengubah pemikiran kita tentang "Saya harus menjadi Direktur pada usia tertentu atau "Saya harus menikah sekarang" menjadi sikap yang lebih realistis seperti "Saya persis di tempat yang saya inginkan" dan “Saya sedang menuju ke arah terbaik dalam perjalanan hidup saya.”