KOMPAS.com - Vitiligo adalah suatu kondisi yang menyebabkan beberapa area kulit kehilangan warna.
Kondisi fisik yang tidak lazim dan tergolong mencolok ini membuat penderita vitiligo sering mendapatkan bullying.
Baca juga: Hari Vitiligo Sedunia, Dikriminasi Masih Jadi Isu Utama
Tak heran jika kondisi ini tak hanya memengaruhi kondisi fisik seseorang namun juga mental.
Berbagai diskriminasi dan pertanyaan tidak sensitif yang diajukan kepada para vitiligan, penderita vitiligo, sehingga berdampak buruk pada emosionalnya.
Vitiligo terjadi karena sel-sel yang memproduksi melanin berhenti berfungsi atau mati.
Bisa terjadi selama masa kanak-kanak sehingga proses identifikasi diri sering kali ikut terhambat.
Selain itu, penderitanya tidak memiliki cara untuk mengetahui seberapa banyak tubuh mereka akan terpengaruh dan seberapa banyak warna kulit mereka akan hilang.
Baca juga: Kenali Apa Itu Vitiligo, Penyebab, dan Tanda-tandanya
Vitiligo adalah penyakit yang langka namun tidak menular maupun berbahaya.
Namun pemahaman publik yang terbatas membuat masih banyak orang yang takut akan penularannya.
“Hanya kulit kita yang berbeda. Kami masih orang yang sama," kata McKyla Crowder, perempuan berusia 25 tahun yang telah menderita vitiligo sejak usia empat tahun.
Baca juga: Apakah Vitiligo Bisa Disembuhkan? Simak Penjelasan Pakar..
“Jangan perlakukan seseorang dengan vitiligo seolah-olah mereka berbeda dari Anda. Bukan apa yang terjadi di luar. Itu yang ada di dalam," tegasnya.
Kondisi kulit penderita vitiligo sering kali membuat orang gegabah menyarankan produk tertentu untuk memerbaiki penampilannya.
Padahal itu jelas-jelas tidak berguna dan melukai hati.
“Salah satu komentar paling tidak membantu yang saya dapatkan adalah dirujuk ke produk yang dapat menutupi seluruh kulit saya hampir seperti alas bedak untuk seluruh tubuh Anda,” kata Marian De Vos, vitiligan asal Afrika Selatan.