Oleh: Nico Surya Oktafiansyah, Griselda Artha Daeli, Lilly Ratanawati, Matthew Juan Toscani, Sharron Dharmawati, dan Denrich Suryadi*
BERDASARKAN laporan statistik pada 2021 terdapat 447.743 kasus perceraian di Indonesia dan 516.334 kasus pada 2022. Ada peningkatan 15 persen kasus perceraian dari 2021 ke tahun 2022 (GoodStats, 2023).
Faktor yang menyebabkan perceraian di antaranya masalah ekonomi, komunikasi, budaya/agama, nilai pribadi, pengasuhan anak, isu keluarga besar, dan masalah lainnya.
Perceraian menimbulkan konflik antarorangtua yang menyebabkan terganggunya pola kelekatan antara anak dengan orangtuanya.
Perceraian membuat anak tidak selalu menemui kedua orangtuanya setiap saat. Memang ada orangtua yang sudah bercerai, tetapi menurunkan ego masing-masing untuk tetap bertemu dengan anak.
Namun tidak jarang ada orangtua yang melarang anaknya untuk menemui orangtua lainnya, entah itu Ayah atau Ibu.
Padahal pola kelekatan antara orangtua dengan anak sangat penting karena orangtua dapat berperan sebagai support system bagi anak untuk terus mengeksplor hal-hal baru dan dunia secara lebih luas (Saturrosidah et al., 2018).
Dampak psikologis bagi anak pasti akan muncul sebelum dan sesudah perceraian orangtuanya. Namun yang sering terlupakan adalah dampak psikologis bagi orangtua yang bercerai juga ada.
Salah satunya adalah kondisi berduka karena adanya perbedaan cara hidup dan rutinitas dari sebelumnya memiliki pasangan menjadi kondisi melakukan segalanya sendiri, termasuk mengasuh dan merawat anak.
Wanita cenderung memiliki masalah emosional yang lebih banyak dibandingkan pria. Selain itu, perubahan status menyandang sebutan janda seringkali menyebabkan persepsi sosial yang negatif dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi wanita dalam lingkungannya.
Layly (2015) mengemukakan bahwa pria atau wanita yang bercerai membutuhkan perubahan atau pertumbuhan kognitif yang positif untuk mampu menghadapi berbagai situasi yang menimbulkan dampak negatif dalam kehidupannya yang disebut dengan Post Traumatic Growth.
Menurut Tedeschi dan Calhoun (2004), pengalaman traumatik (salah satunya adalah perceraian) yang terjadi pada seseorang mampu membuat mereka memiliki kemungkinan baru untuk menjalani hidup yang lebih bersemangat, menikmati hidup, dan melakukan perubahan terhadap aspek spiritual yang lebih baik.
Menurut mereka, aspek-aspek Post Traumatic Growth tersebut adalah:
Dengan memiliki Post Traumatic Growth ini, orangtua yang bercerai lebih mampu untuk memprioritaskan kebutuhan anak yang juga mengalami trauma pascaperceraian orangtuanya.
Pengasuhan yang masih melibatkan kedua orangtua yang telah bercerai seharusnya tetap menjadi tugas dan tanggungjawab bersama.