KOMPAS.com – Di bawah sinar bulan purnama
Hati susah jadi senang
Si miskin pun yang hidup sengsara
Semalam itu bersuka
Itulah penggalan lagu Di Bawah Sinar Bulan Purnama. Sebuah lagu lawas bergenre keroncong ciptaan R Maladi itu menggambarkan bahwa terjadinya bulan purnama merupakan suatu peristiwa istimewa.
Jika liriknya dibaca secara lengkap, lagu itu juga bercerita tentang keindahan alam dengan tiga penggalan lirik yang terdengar lucu sekaligus optimistis pada bagian refrain.
Cerita dalam lagu Di Bawah Sinar Bulan Purnama itu tidak jauh berbeda dengan kisah yang dituangkan salah satu maestro lukis Indonesia, Djoko Pekik, dalam lukisan berjudul “Bulan Purnama” yang dibuat pada 2015.
Lukisan tersebut bercerita tentang keindahan dan kebahagiaan atau hal yang erat dengan sesuatu bersifat menyenangkan serta berpengharapan.
Pelukis Yuswantoro Adi mengatakan, lukisan itu diciptakan Djoko Pekik untuk memperingati Hari Raya Waisak sekaligus bercerita tentang keharmonisan bermacam-macam agama di Indonesia.
Baca juga: Mengenang Djoko Pekik dan Lukisan-lukisan yang Berbicara
“Mungkin sang Maestro ingin menggambarkan suatu peristiwa keagamaan umat Buddha di negara dengan masyarakat mayoritas Muslim, bisa dilaksanakan dengan damai, saling toleransi antarumat beragama, bahkan saling menjaga satu sama lain,” kaya Yuswantoro dalam rilis yang diterima Kompas.com, Rabu (21/2/2024).
Yuswantoro bercerita, Djoko Pekik merupakan anggota Sanggar Bumi Tarung yang merupakan bagian dari Kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Semasa muda, Djoko Pekik mendirikan sanggar seni bernama Bumi Tarung.
Menurut Agus Dermawan T dalam buku Podium Sahibulhikayat, sanggar tersebut didirikan bersama dua sahabatnya yang juga seniman terkenal, yakni Amrus Natalsya dan Misbach Tamrin.
“Ketiganya bersama-sama menciptakan karya-karya seni yang kini tersimpan rapi di berbagai museum dan arsip nasional,” ujarnya.
Baca juga: Maestro Lukis Djoko Pekik Meninggal Dunia
Bersama Amrus Natalsya juga, Djoko Pekik bergabung dengan Lekra yang kredonya adalah menciptakan karya terinspirasi setelah melakukan aksi Turun ke Bawah (Turba) ke kawasan miskin dan terisap.
Hal itu sejalan dengan aktivitas Lekra yang kerap melukiskan realisme sosial yang dibumbui dengan nilai-nilai kerakyatan, baik dalam bentuk kritik maupun opini atas kondisi sosial kemasyarakatan.