Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengasuhan Alternatif bagi Anak yang Kehilangan Orangtua

JAKARTA, KOMPAS.com - Tak semua anak beruntung dapat hidup, tumbuh dan berkembang dengan keluarga lengkap.

Sebagian dari mereka hidup sendiri, tanpa kehadiran orangtua, atau keluarga terdekat.

Dari data yang diungkap SOS Children’s Village, 220 juta atau 1 dari 10 anak di dunia tumbuh dan berkembang sendiri.

Keluarga memiliki peran sangt penting bagi anak. Mereka yang tumbuh dan kembang tanpa keluarga stabil serta protektif, rentan terhadap beberapa risiko.

Sebut saja seperti perkembangan fisik, psikologis, dan sosial yang bisa terhambat lantaran kekurangan nutrisi, tidak adanya akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta lemahnya ikatan emosional dan dukungan yang diperlukan oleh setiap anak. 

Tak hanya itu, mereka juga rentan terhadap penelantaran, kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, dan kemiskinan.

Pengasuhan alternatif

Direktur SOS Children’s Village Indonesia Gregor Hadi Nitihardjo mengatakan, mengentaskan persoalan tersebut bukan sekadar memberikan anak sebuah bangunan, lengkap dengan atap, tempat tidur, makanan dan fasilitas lain. 

Anak-anak tersebut, menurutnya, membutuhkan sebuah keluarga dengan kehidupan serta pola asuh permanen.

“Kami (SOS Children’s Village) memberikan orangtua pengganti yang bersifat permanen, sehingga kehidupan keluarga tumbuh di situ,” ungkap Hadi di Jakarta, Senin (21/5/2018).

SOS Children’s Village menyebut ini sebagai pengasuhan alternatif. Namun, pola pengasuhan ini tak lepas dari konsep keluarga yang sebenarnya.

Hadi mencontohkan, dalam satu rumah akan terdiri dari 6 hingga 8 anak yang diasuh oleh satu orang ibu yang setiap hari harus ada di rumah tersebut.

“Persis berperan sebagai seorang ibu,” ungkap Hadi.

Di sana, anak-anak diberikan pola asuh seperti keluarga pada umumnya, misalnya, sekolah, makanan hingga perhatian terhadap bakatnya. 

Anak-anak disekolahkan ke tempat umum, sedangkan makanan diperhatikan agar mengasup nutrisi dan gizi yang tepat.

Sementara bakat adalah salah satu yang juga penting diberikan perhatian agar bisa dikembangkan.

Kendati demikian ada beberapa aturan penting dalam keluarga ini, misalnya, tak dilakukan hukuman fisik, melainkan pendisiplinan positif.

“Kalau sampai ketahuan ada hukuman fisik, maka akan dibawa ke pidana,” ujar Hadi.

Di Indonesia sendiri, SOS Children’s Village baru resmi masuk tahun 1972, sementara di dunia sudah berdiri sejak 1949. 

Adalah Agus Prawoto, tentara yang sempat bertugas di Austria yang akhirnya tertarik membawa konsep SOS Children’s Village diterapkan di Indonesia.

Hingga kini, tercatat sudah ada 114 rumah yang tersebar di 8 villages dalam 10 lokasi berbeda.

“Villages kami benar-benar merefleksikan masyarakat setempat, termasuk di Indonesia,” kata Presiden Direktur SOS Children’s Villages International Shiddarta Kaul.

Menghargai perbedaan

Selain soal akademik, dan kebutuhan kasih sayang orangtua—anak-anak di sini juga diperhatikan perihal pendidikan karakter, salah satunya mengenai perbedaan.

Sejak kecil, menurut Hadi, anak-anak diajarkan soal menghargai perbedaan, sehingga mencegah berkembangnya pemikiran-pemikiran sempit soal keberagaman. 

“Meskipun berbeda (agama, suku dan ras), anak-anak kami hidup berdampingan,” ujar Hadi.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/05/22/073900220/pengasuhan-alternatif-bagi-anak-yang-kehilangan-orangtua

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke