Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kompetisi Meracik Kopi yang tak Kalah Heboh dari Konser Musik

JAKARTA, KOMPAS.com - Tepuk tangan, teriakan gegap gempita, dan sorak sorai terdengar dari ballroom Hotel Sheraton Gandaria City. Kehebohan itu bukan berasal dari pertandingan olahraga atau konser musik cadas. Namun hingar bingarnya menyerupai.

Semua orang tentu tidak akan menyangka bahwa suara-suara itu merupakan bagian dari lomba meracik kopi, di mana para pesertanya memiliki pendukung yang tak kalah militan dari suporter sepakbola.

Layaknya menyaksikan pertandingan tinju atau Indonesian Idol, para penonton mulai berteriak-teriak dan menyanyikan yel-yel ketika video dari tiga finalis Starbucks Barista Championship 2018 ditayangkan di layar lebar di atas panggung.

Video itu memperlihatkan bagaimana para finalis, Ni Putu Patricia dari Bali, Muhammad Fariz Syahir dari Bandung, dan Yulinda Tanjaya dari Surabaya, mempersiapkan diri untuk berangkat mengikuti lomba.

Mereka digambarkan menerima surat, lalu bersiap-siap dengan perlengkapannya, dan keluar dari rumah untuk menuju lokasi kompetisi. Patricia atau Pat memesan taksi, Fariz mengendarai motornya, dan Yulinda naik taksi online. Ketiganya bertemu di Hotel Sheraton.

Usai adegan itu, pintu ballroom dibuka, dan ketika peserta memasuki ruangan. Teriakan dan sorak sorai pun menjadi-jadi. Kamu tidak akan membayangkan bahwa ini terjadi dalam pertandingan membuat kopi, yang oleh banyak orang sering dianggap kegiatan sepele.

Nama para finalis diteriakkan oleh para pendukung yang sebagian berdiri di kursinya, terompet ditiup, dan kamera-kamera ponsel mengikuti langkah tiga barista menuju panggung. Heboh!

"Starbucks Barista Championship adalah acara paling ditunggu di Starbucks. Kami selalu bangga memiliki partners (Starbucks menyebut pegawai sebagai partners) yang terisnpirasi mencapaim potensi mereka melalui kompetisi ini," kata Virani Masayu, GM Learning and Culture Starbucks Indonesia.

Kompetisi internal ini telah berjalan sejak tahun 2003 dan tahun ini merupakan kompetisi ke-12. Ajang ini tidak hanya dilakukan di Indonesia, tapi juga di Starbucks lain di seluruh dunia untuk memotivasi partner agar mencapai standar yang tinggi.

Bukan sekedar menyajikan

Ia memperkenalkan diri, lalu unjuk kebolehannya menyajikan kopi dengan teknik pour over. Kopi Rwanda adalah pilihannya. Dengan fasih ia menceritakan bagaimana kopi mengubah kehidupan masyarakat di Rwanda yang sempat mengalami perang suku.

"Kopi ini juga memiliki arti istimewa bagi saya karena dengan kopi ini saya mendapatkan apron coffee master dan mengikuti berbagai kompetisi brewer," ujarnya.

Para finalis ini memang dinilai berdasarkan pengetahuan kopi, kompetensi teknis, kemampuan komunikasi, serta kreativitas minuman mereka. Karenanya, selain menyajikan kopi dengan teknik pour over, mereka juga menunjukkan kemampuan membuat latte art, dan menyuguhkan minuman kreasi mereka yang berbahan kopi.

Saat membuat signature beverages karyanya, Fariz mencampurkan berbagai bahan seperti jus nanas, cranberry, sparkling water, serta busa nitro sebelum menggabungkannya dengan kopi. Ia menyebutnya Tumaini, dalam bahasa Swahili berarti "Harapan."

Linda mengaku tidak pernah minum kopi sebelum ia bergabung dengan Starbucks. Namun kini, kopi menjadi minuman istimewa baginya, dan salah satunya berkat biji kopi yang ditanam di Rwanda. Lagi-lagi kopi ini menjadi bahan cerita.

"Kopi Rwanda Kanzu ini menyatukan orang-orang setelah mereka dilanda perang saudara. Kini kopi ini menyatukan kita semua," kata Linda.

Untuk menu signature-nya, Linda memadukan citarasa jeruk baby mandarin, brown sugar, es, foam dari susu, lalu memberi taburan brown sugar lagi yang dibakar dengan api untuk mematangkan aroma dan rasanya.

"Jeruk baby mandarin ini mengingatkan saya saat kecil yang sering diberi minuman jeruk oleh ibu saya," ujar Linda.

Baby mandarin digunakan untuk menguatkan rasa fruity pada kopi Kenya yang dipakainya dalam bentuk espresso, sedangkan brown sugar memberi rasa manis. Untuk menambah kesegaran, ia menghias minuman tersebut dengan daun mint.

Ia mengawali dengan membuat latte art. Salah satu yang istimewa adalah latte art berbentuk angsa yang mengembangkan sayapnya. "Ini belajarnya agak susah," ujarnya seusai lomba.

Lalu untuk minuman signature, ia memperoleh inspirasi dari kebiasaan orang-orang di desanya, Desa Tunjuk, Tabanan, Bali, yang setiap sore hari berkumpul dan menyajikan berbagai minuman seperti teh dan kopi yang diberi rempah-rempah.

Nah dalam kesempatan ini, Pat menambahkan cokelat dan palm sugar ke dalam kopinya, beserta bahan-bahan lain. Ia menyajikannya bersama kelopak bunga yang memberi rasa unik pada kopi.

Ketika tiba giliran untuk menyajikan kopi dengan cara pour over, Pat menggunakan kopi Rwanda Kanzu. Seperti peserta lain, ia menjelaskan berbagai proses yang dilakukan saat menyeduh, seperti berapa derajat suhu air yang digunakan, ukuran butir kopi, hingga cara mencium aromanya dan mencicipinya.

"Coba letakkan tiga jari menutupi cangkir," ujar Pat kepada tiga juri. "Lalu cium aromanya dan kita akan menemukan ada citrus hingga aprikot di sana."

Pat terdengar sangat piawai menjelaskan kopi yang ia sajikan. Cerita dan keterangan yang dia berikan membangun suasana sehingga orang terbayang apa yang diminumnya, dan menemukan taste yang sebelumnya tidak dikenali.

Saat namanya diumumkan sebagai juara, sorak sorai meledak lagi, kertas berwarna-warni disemburkan, dan balon-balon dijatuhkan dari atas panggung.

Seiring dengan melelehnya air mata Pat, saya bertanya-tanya lagi dengan takjub, seperti inikah kompetisi membuat kopi?

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/10/12/161129520/kompetisi-meracik-kopi-yang-tak-kalah-heboh-dari-konser-musik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke