Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jadi Mata Pencarian Baru, Makin Banyak Anak Muda Jadi Penenun

Alih-alih meneruskan pekerjaan orangtua menenun kain, banyak anak muda yang memilih menjadi pekerja kantoran.

Meski begitu, titik terang mulai terlihat. Saat ini rupanya semakin banyak anak muda yang berminat menjadi perajin tenun.

Cita Tenun Indonesia (CTI) berkeliling Indonesia melakukan pelatihan untuk perajin tenun dalam rangka memperluas pasar lokal dan mancanegara.

Ketua CTI Okke Hatta Rajasa melihat, dari beberapa daerah pelatihan yang ada, antusiasme anak muda semakin bertambah untuk menjadi perajin tenun.

"Dulu awalnya banyak yang tua karena turun temurun. Tapi sekarang alhamdulillah banyak yang muda."

Begitu kata Okke dalam pameran dan bazar yang diselenggarakan CTI di Pacific Place, Jakarta, Kamis (15/11/2018).

Menurut Okke, kondisi itu terjadi karena banyak anak muda melihat pekerjaan menjadi perajin tenun bisa menjadi mata pencarian baru.

Apalagi, dalam proses membuat satu kain saja ada banyak orang yang dilibatkan di masing-masing tahapannya.

"Mereka melihat ada mata pencarian baru yang bisa menghasilkan uang," tutur dia.

Tak hanya pada usia remaja, anak-anak kecil di beberapa daerah sebetulnya juga ikut terlibat dalam proses pembuatan tenun.

Menurut Okke, anak-anak kecil biasanya ikut membantu dalam proses pengikatan.

Mereka pun senang melakukannya karena mendapat ongkos mengikat.

Lain halnya dengan di Garut, di mana para ibu muda ikut mengerjakan kain tenun di sela kesibukannya mengurus keluarga.

"Jadi usia termudanya sebetulnya bervariasi. Tapi relatif mereka tertantang mengerjakan tenun karena ada kompensasi berupa uang," kata Okke.

Fenomena serupa ditemukan desainer ternama Didi Budiardjo. Didi sempat ikut berkontribusi dalam program pelatihan CTI di beberapa daerah penghasil tenun.

Menurut dia, fenomena di daerah bervariasi.

Di satu sisi, masih ada anak muda yang memilih menjadi pegawai toko, ketimbang menjadi perajin tenun, atau mengembangkan budaya daerahnya.

Namun, di sisi lain ada daerah dengan anak-anak muda yang mau menjadi perajin tenun.

"Seperti di Bali, orang lebih suka menjadi pegawai toko daripada jadi penari atau pengukir. Karena pegawai toko punya jam kerja tertentu yang pasti."

"Padahal mereka punya skill untuk itu (menari atau mengukir)," kata Didi.

Salah satu yang melatarinya, menurut Didi, adalah apresiasi yang masih kurang.

Setiap warga negara Indonesia sebetulnya memiliki kontribusi untuk membuat regenerasi perajin tenun terus berjalan.

Cara termudahnya adalah dengan mengenal dan membeli karya itu dengan harga yang pantas.

Menurut Didi, saat ini masih banyak orang yang menilai kain-kain daerah harganya mahal dan enggan membeli.

Padahal, ada cerita yang panjang dan jerih payah di balik sehelai kain tersebut.

"Sepeeti yang di Jembrana, baju saya yang dibuat dengan kain dari sana satu hari hanya satu centimeter."

"Untuk membuat sehelai kain itu lumayan. Orang tahunya kain ini mahal tapi tidak tahu bagaimana mencucuk benang di sebuah alat tenun bukan mesin (ATBM) seribu helai benang, rasanya bagaimana," tutur Didi.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/11/16/191220520/jadi-mata-pencarian-baru-makin-banyak-anak-muda-jadi-penenun

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke