Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Membumikan Stoicism

Berbagai kanal podcast berlomba-lomba memopulerkan. Namun, apakah mempraktikkannya semudah yang dibayangkan? Apakah Anda benar-benar telah memahami makna stoicism?

Stoicism, stoic, atau stoisisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu “stoikos”. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut bisa diartikan sebagai stoa (seramba atau beranda).

Hal itu merujuk pada Stoa Poikile, atau “Beranda Berlukis” yang berada di Athena -- tempat para filsuf stoik Zeno dari Citium yang memberikan pengaruh besar pada stoisisme mengajar.

Singkat kata, stoicism adalah pandangan atau filosofi hidup yang didukung oleh dua pilar mendasar, yakni cardinal virtues atau dasar-dasar kebajikan dan dichotomy of control atau dualitas pengaturan hidup.

Pilar pertama bernama cardinal virtues atau dasar-dasar kebajikan, yaitu kebijaksanaan praktis, keberanian, keadilan, dan kesederhanaan.

Maksudnya adalah mengetahui apa yang baik dan apa yang tidak baik bagi diri sendiri. Sedangkan untuk keberanian, tidak hanya terpaku pada keberanian fisikal, tapi juga keberanian dalam memperjuangkan moral.

Kebajikan berikutnya adalah keadilan yang tak hanya terpaku pada keadilan individu, namun keadilan bagi orang lain.

Kebajikan terakhir adalah kesederhanaan untuk mengukur level yang tepat saat menjalani hidup, tidak berlebihan maupun tidak kekurangan.

Mirip dengan petuah leluhur orang Jawa, yaitu "Samadya" yang menekankan pada kehidupan sederhana, tidak berlebihan atau mengambil secukupnya.

Pilar kedua merupakan dualitas kontrol kehidupan. Pilar itu tidak lain adalah implementasi stoicism yang menciptakan kebahagiaan dalam hidup.

Disebut dualitas karena manusia hanya dihadapkan oleh dua kemungkinan, yaitu hal-hal yang bisa dikontrol dan hal-hal yang di luar kontrol.

Untuk mendapatkan kebahagiaan, seorang stoic perlu melatih dirinya untuk fokus pada hal-hal yang dapat dikontrol.

Stoicism adalah filosofi praktis dengan tujuan menjalani kehidupan yang bermakna dan menjadi versi terbaik diri sendiri.

Kaum Stoa percaya dalam menjalani kehidupan yang bajik, kehidupan yang berpotensi memberi kita kebahagiaan dan ketentraman pribadi.

Dan itulah salah satu alasan seseorang mungkin memilih untuk hidup mengikuti mode mereka. Lagi pula, apa gunanya filsafat jika pada akhirnya tidak memberi kita kebahagiaan?

Tetapi dalam filosofi Stoic, pengejaran kebajikan dan karakter baiklah yang memungkinkan kita untuk sampai ke sana.

Bagi orang Stoa, mengejar kebajikan adalah mengejar kebahagiaan. Jika kita bisa hidup dengan bajik, kehidupan yang baik akan mengikuti.

Tetapi apa artinya mengejar kebajikan?

Sederhananya, bertindak bajik berarti berjuang menuju cita-cita pribadi dan menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Dengan menjadi orang yang kita inginkan, kita akan bahagia.

Kaum Stoa juga mengajari kita bahwa kebahagiaan adalah tanggung jawab pribadi kita. Hal pertama dan terpenting yang dapat kita lakukan adalah mengambil kepemilikan atas siapa diri kita dan keadaan hidup kita.

Hanya dengan begitu kita bisa menjadi orang yang kita inginkan, dan menemukan kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup kita.

Berpijak dari filosofi itu, berikut adalah beberapa prinsip Stoic yang dapat membantu kita menjadi orang yang lebih baik dan lebih bahagia.

Pertama, berhenti mengkhawatirkan apa yang tidak dapat kita kendalikan. Stoicism dibangun pada gagasan dasar bahwa kita tidak dapat mengendalikan dunia di sekitar kita, tetapi kita dapat mengontrol bagaimana kita menanggapinya.

Stoic mengingatkan diri mereka sendiri bahwa dalam hidup, ada hal-hal yang sama sekali tidak dapat kita kendalikan, ada hal-hal yang kita kendalikan sebagian, dan ada hal-hal yang sepenuhnya kita kendalikan.

Satu-satunya cara kita dapat memiliki kedamaian dalam hidup kita adalah menerima ini, melepaskan apa yang tidak dapat kita kendalikan, dan kemudian fokus pada apa yang kita kendalikan.

Apa yang tidak kita kendalikan?

Kita tidak dapat mengontrol dunia di sekitar kita, peristiwa eksternal, orang lain, alam, genetika kita, atau masa lalu.

Mencoba atau mengkhawatirkan hal-hal ini tidak ada gunanya, dan hanya membuat hidup lebih sulit. Ketika kita terus-menerus mencoba mengendalikan hal-hal ini, kita akhirnya menderita.

Tidak mengherankan bila penulis Peaceful Warrior yang legendaris bernama Dan Millman pernah mengatakan bahwa “penderitaan adalah resistensi psikologis kita terhadap apa yang terjadi. Peristiwa dapat menyebabkan rasa sakit fisik, tetapi peristiwa itu sendiri tidak menciptakan penderitaan. Perlawanan menciptakan penderitaan. Satu-satunya masalah dalam hidup kita adalah penolakan pikiran kita terhadapnya saat hal itu terungkap.”

Ketidakbahagiaan kita, pada umumnya, disebabkan oleh pemikiran bahwa kita mengendalikan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.

Dalam arti tertentu, ini seperti berdebat dengan kenyataan, dan itu adalah akar dari banyak, jika bukan sebagian besar masalah kita.

Jadi, pertama-tama menerima bahwa ada hal-hal yang tidak kita kendalikan adalah penting jika kita ingin maju dengan hidup kita.

Kedua, fokus dengan apa yang dapat kita kendalikan. Jika kita tidak dapat mengendalikan dunia, peristiwa eksternal, atau orang lain, apa yang tersisa dalam kendali kita?

Kaum Stoa berpendapat bahwa hanya dua hal yang kita kendalikan secara mutlak, yaitu pikiran dan tindakan kita.

Kita tidak dapat mengontrol dunia di sekitar kita, tetapi kita dapat mengontrol bagaimana kita menanggapinya melalui penilaian dan reaksi kita.

Tak pelak lagi, hal-hal akan terjadi dalam hidup yang tidak dapat kita kendalikan, tetapi persepsi kita tentang peristiwa yang diikuti oleh bagaimana kita menanggapinyalah yang membuat hal-hal ini menjadi baik atau buruk.

Praktik paling penting bagi Stoic adalah membedakan keduanya, dan kemudian fokus pada apa yang dapat kita kendalikan: penilaian dan tindakan sukarela kita, dan pilihan kita.

Kita tidak dapat sepenuhnya mengontrol apa yang terjadi pada kita, tetapi kita dapat mengontrol bagaimana kita melihatnya, dan bagaimana kita memilih untuk merespons dan bereaksi. Di situlah letak kekuatan kita.

Tentu saja, memahami dikotomi ini hanya sebagian saja. Yang juga harus kita lakukan adalah mengingatnya.

Semakin kita mengingatkan diri kita akan hal ini, semakin sedikit kita akan menderita ketakutan dan kecemasan, dan semakin mudah bagi kita untuk menginvestasikan energi dan upaya kita untuk menjadi orang yang kita inginkan.

Ketiga, memikirkan kematian. Kita semua tahu bahwa kita akan mati kelak, namun kita hidup seolah-olah hidup kita akan bertahan selamanya.

Jadi, sebaiknya kita tidak membuang banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak penting dan tidak melakukan apa-apa untuk menggerakkan kita ke arah yang ingin kita tuju.

Kita seringkali membuang waktu, dan kemudian kita mengeluh bahwa kita tidak memiliki cukup waktu. Padahal, kematian menggantung di atas bahu kita dengan setiap detik yang berlalu.

Kenyataannya adalah bahwa hidup ini cukup lama untuk melakukan apa yang penting bagi kita. Bisa kita anggap singkat karena tidak ada waktu untuk disia-siakan. Waktu kita di dunia ini terbatas.

Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa kita putar kembali. Jadi, kita tidak boleh menghabiskannya untuk hal-hal sepele atau tidak perlu.

Jika kita ingin bahagia, kita harus membiarkan pikiran tentang kematian mengubah hubungan kita dengan waktu. Biarlah itu mengajari kita untuk hadir sepenuhnya, dan memanfaatkan setiap momen sebaik-baiknya.

Kenyataannya adalah bahwa hidup ini singkat jika kita membuang-buang waktu. Waktu adalah satu hal yang tidak akan pernah bisa kembali.

Oleh karena itu, kita arus menggunakan waktu dengan bijak. Jadi, mari renungkan kematian. Biarkan itu memperjelas siapa yang kita inginkan.

Kemudian biarkan itu mendorong kita untuk mengambil tindakan yang benar, menggunakan setiap momen untuk menjadi orang yang kita inginkan.

Pikiran tentang kematian tidak perlu membuat kita takut, juga tidak perlu membuat kita tertekan. Sebaliknya, itu justru bisa memotivasi kita.

Faktanya, kematian adalah sumber motivasi terkuat yang pernah ada. Tidak ada yang lebih menarik daripada gagasan bahwa hidup kita atau kehidupan orang yang kita cintai dapat berakhir kapan saja.

Ini menciptakan rasa urgensi dan mendorong kita untuk mengambil tindakan yang benar-benar membuat hidup kita bermakna.

Itu memotivasi kita untuk secara agresif mengejar apa yang penting, memenuhi kita dengan tujuan, dan juga mendorong kita untuk bertindak benar.

Untuk menjadi orang yang kita inginkan, kita harus merenungkan kefanaan kita, dan kita harus sering melakukannya. Hanya melalui pengetahuan bahwa hidup kita suatu hari nanti akan berakhir, kita dapat belajar untuk benar-benar menjalaninya.

Keempat, menginginkankan lebih sedikit. Salah satu pelajaran paling menonjol dalam Stoicism adalah belajar untuk menginginkan lebih sedikit.

Kebanyakan orang percaya bahwa kebahagiaan muncul dengan memperoleh lebih banyak dari sesuatu. Kita percaya bahwa kebahagiaan adalah memiliki lebih banyak hal seperti kesuksesan, uang, ketenaran, bakat, atau harta benda.

Begitu kita mencapai hal-hal ini, kita percaya masalah kita akan hilang, dan akhirnya kita bisa bahagia dengan hidup kita.

Masalahnya adalah keinginan kita yang tak ada henti-hentinya hanya membuat hidup kita lebih sulit. Kita menjadi budak keinginan kita sendiri. Tetapi sebaliknya juga benar.

Kaum Stoa mengajarkan bahwa kita dapat membebaskan diri kita hanya dengan menginginkan lebih sedikit.

Menjalani kehidupan yang baik tidak terjadi melalui pencapaian lebih banyak hal. Faktanya, bahkan jika kita mendapatkan semua hal yang kita inginkan, itu tidak pernah cukup.

Tetapi juga, kenyataannya adalah bahwa kita tidak akan mendapatkan semua yang kita inginkan. Jika kita melekatkan kebahagiaan kita pada hal-hal yang tidak kita miliki, kita akan semakin tidak bahagia.

Sebaliknya, kita bisa belajar untuk menginginkan apa yang sudah kita miliki. Karena hidup telah memberi kita banyak hal, kita hanya perlu mengenalinya.

Ini bukan hanya soal bersyukur, ini tentang bersikap pragmatis. Lihatlah apa yang kita miliki, dan kemudian manfaatkan dengan baik.

Kita tidak dapat mengontrol apa yang tidak kita miliki, tetapi kita dapat mengontrol apa yang kita miliki.

Kekayaan dan kekuasaan sejati muncul dari kemampuan kita untuk memanfaatkan apa yang kita miliki. Apa yang memberi nilai adalah bagaimana kita menggunakannya, bukan hanya dalam memilikinya.

Jika kita berharap hidup memberi kita semua yang kita inginkan, kita akan terus-menerus kecewa dan kita tidak akan pernah menemukan kebahagiaan.

Jauh lebih baik untuk menerimanya apa adanya, mengenali apa yang kita miliki, dan kemudian memanfaatkannya sebaik mungkin.

Ya, tidak apa-apa untuk menginginkan hal-hal tertentu seperti kebutuhan hidup yang nyaman, berkembang, dan juga baik untuk memiliki impian, cita-cita, dan tujuan.

Kita harus berusaha untuk meningkatkan taraf hidup kita, dan untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri dan orang yang kita cintai. Hal-hal ini adalah bagian dari perbaikan diri kita dan kehidupan kita.

Orang Stoa tidak menyuruh kita untuk menghilangkan keinginan sepenuhnya, tetapi mereka hanya mendorong kita untuk menginginkan hal yang benar, mempraktikkan apresiasi atas apa yang kita miliki, dan kemudian menggunakannya untuk keuntungan kita. Semua yang kita butuhkan sudah kita miliki.

Kelima, menyederhanakan hidup kita. Stoicism adalah, pada intinya, tentang kesederhanaan. Ini tentang menyederhanakan hidup kita dalam segala hal.

Kaum Stoa mengajarkan bahwa apa yang penting untuk kehidupan yang baik adalah apa yang kita kendalikan: karakter kita.

Kemampuan kita untuk menciptakan kebahagiaan berasal dari ini. Pertama-tama kita harus menyadari bahwa yang benar-benar kita butuhkan untuk kebahagiaan adalah diri kita sendiri.

Ya, ada juga kebutuhan dasar yang kita butuhkan, tetapi kebanyakan dari kita telah sepenuhnya mengacaukan hidup kita dengan hal-hal yang tidak kita butuhkan.

Yang bisa kita lakukan adalah menghilangkan semua yang tidak perlu. Pada hakekatnya, kita memikirkan terlebih dahulu membersihkan hal-hal materi, meskipun bukan hanya hal-hal materi yang harus kita hilangkan, tetapi juga pikiran dan tindakan kita.

Kita harus selalu memperhatikan apakah pikiran dan tindakan kita melakukan sesuatu untuk memajukan kita atau meningkatkan kehidupan kita.

Yang diperlukan adalah apa yang membuat kita maju dan membuat kita lebih baik dan lebih bahagia. Yang lainnya sesungguhnya tidak kita perlukan.

Jadi, untuk segala sesuatu dalam hidup kita, hal-hal, pikiran, dan tindakan, terus tanyakan apakah kita benar-benar memerlukannya. Jika tidak, kita bisa menghilangkan atau mengabaikannya.

Kesimpulan

Sebenarnya ada banyak jurus di seluruh spektrum filosofi dan pengembangan diri yang dapat digunakan untuk menciptakan kebahagiaan dalam hidup kita.

Stoicism tidak mengklaim memiliki semua jawaban; juga tidak dapat memberitahu kita dengan tepat bagaimana menjadi bahagia.

Sebaliknya Stoicism mengajarkan bahwa kita secara pribadi bertanggung jawab atas kebahagiaan kita, dan terserah pada kita untuk menciptakan kebahagiaan melalui tindakan kita.

Stoicism adalah pendekatan praktis untuk hidup, yang tidak menghindar dari kenyataan bahwa hidup itu sulit, dan kesulitan adalah sifatnya.

Alih-alih melawan ini, lari darinya, atau mencoba mencapai kebahagiaan seolah-olah itu adalah akhir dari dirinya sendiri di mana semua masalah kita tidak ada lagi, Stoicism mengajarkan kita menerima kenyataan dan memanfaatkannya sebaik mungkin.

Ini mengajarkan kita untuk mendekati kebahagiaan sebagai lebih dari sebuah proses yang paralel dengan peningkatan diri dan pengejaran diri kita yang lebih tinggi.

Hanya melalui proses ini kita dapat mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjadi orang yang kita inginkan, dan, pada akhirnya, menciptakan kebahagiaan yang kita cari.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/10/20/061500020/membumikan-stoicism

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke