Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pewarnaan Alami Indigo pada Batik dan Kearifan Nusantara

KOMPAS.com - Proses pewarnaan alami menggunakan tanaman Indigo (Indigofera tinctoria) pada batik telah digunakan selama berabad-abad di Indonesia.

Teknik ini merupakan salah satu kearifan lokal dari Nusantara yang sudah lama dilakukan oleh para pengrajin batik sejak zaman dahulu.

Keindahan warna biru alaminya serta proses pengerjaan batik indigo tersebut memikat Zahir Widadi, seorang seniman batik dan arkeolog yang berasal dari Pekalongan dan mendorongnya untuk mendedikasikan hidup bagi pelestarian teknik leluhur pewarnaan batik dengan indigo.

Keindahan tersebut pun sengaja dituangkan oleh Zahir di dalam bukunya, Javanese Indigo Batik: Discovering the Ancient Wisdom of the Indigo Natural-Dyeing Process.

Di buku tersebut, Zahir mengungkapkan kekagumannya akan kelebihan pewarnaan alami pada batik, khususnya indigo.

"Pada zaman Keraton, ratusan tahun lalu dan zaman Mataram ada proses pewarnaan yang dinamakan mbironi, yang artinya biru atau menjadikan biru,"

"Kalau kita lihat batik keraton identik dengan warnanya yang coklat. Tapi sebelum diwarnai coklat, kain diwarnai biru dulu dengan indigo, karena indigo itu bisa menyerap sampai ke serat kain paling tipis."

"Waktu itu tekstil diwarnai dengan indigo, pada saat itu demand sangat tinggi makanya dihargai dengan harga emas. Pada saat itu pula warna tersebut dikatakan sebagai blue gold, itulah di mana awalnya indigo keluar dan dikenal,"

Demikian kata Zahir dalam peluncuran bukunya di Jakarta, baru-baru ini.

Zahir mengatakan alasan di balik dirinya membuat buku tersebut karena dia ingin merekam perjalanannya untuk menemukan dan mendokumentasikan kembali seni pewarnaan alami dengan indigo yang nyaris hilang karena kurangnya transfer ilmu, riset dan dokumentasi.

Dia pun mulai tertarik mempelajari indigo dan penggunaannya dalam pewarnaan batik saat masih menjadi Direktur Museum Batik di Pekalongan (2006-2011).

“Saya sadar, inilah kecintaan seumur hidup saya: menelusuri dan menghidupkan kembali kearifan leluhur lewat pendokumentasian teknik pewarnaan indigo, agar dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya,” imbuhnya.

Bukunya yang didasarkan pada hasil riset selama lebih dari satu dasawarsa, diterbitkan bersama Kelir perusahaan bisnis sosial pewarna alami dari Indonesia.

Dalam buku tersebut, Zahir yang juga kini menjabat sebagai dosen filsafat batik di Universitas Pekalongan bertutur mengenai sejarah, teknik, dan proses pewarnaan alami kain batik dengan indigo.

Ia juga menceritakan filosofi dan makna di balik motif batik Latar Tanahan, yang sempat memenangkan penghargaan internasional dari World Crafts Council pada 2018 lalu.

Dengan mengangkat Latar Tanahan menjadi motif utama dalam batik-batik indigonya, Zahir ingin menunjukkan keindahan dan kekayaan ragam hias batik ini, yang jarang diperbincangkan dan kurang mendapat perhatian walaupun memiliki tingkat kesulitan tertinggi dalam pembuatannya.

"Motif batik yang kita kenal terdiri dari tiga unsur, seperti kelowongan pada batik yang merupakan motif utama dan menjadi masterpiece dari batik tersebut."

"Lalu ada isen-isen berupa pelengkap pada motif utama yang berperan sebagai isi dari motif tersebut. Biasanya berbentuk titik-titik di sela-sela kelowongan."

"Lalu tanahan, fungsi motif batik ini sebagai sebuah pondasi dari batik itu sendiri. Selalu ada di latar belakang batik. Dia tidak pernah di depan, maka dari itu kami ingin mengangkat motif Tanahan ini," jelas Zahir.

Lebih lanjut, momen peluncuran buku tersebut mendapatkan sambutan meriah dari kalangan industri, akademisi, seniman, maupun pencinta batik dan tekstil di Australia.

Zahir bahkan diundang untuk berbagi hasil risetnya dengan anggota The Asian Arts Society of Australia (TAASA) di Queensland Gallery of Modern Art. Zahir juga didapuk untuk memberikan kuliah umum di Queensland University of Technology.

Kelir juga berhasil memopulerkan kain batik indigo Latar Tanahan dari Indonesia di pasar Australia lewat peragaan busana hasil kolaborasi dengan perancang Australia Carla Van Lunn dan brand internasional Silk Laundry.

“Sebagai brand yang berfokus pada gerakan slow fashion, misi Kelir bukan sekadar menghadirkan karya batik yang elegan. Misi kami, terutama adalah untuk berkontribusi pada pelestarian budaya, pengetahuan tradisional, dan lingkungan,” ujar Felicia Nugroho, pendiri Kelir.

Selain memiliki filosofi yang sudah menjadi bagian penting dari sejarah batik sejak zaman kerajaan. Batik indigo juga memiliki sejumlah kelebihan yang membuat pewarnaan ini begitu unik dan spesial..

Misalnya pada molekul pewarnaan biru indigo memiliki molekul terkecil dari semua jenis pewarna alam. Warna ini dapat memasuki ke serat kain sehingga membuat pewarnaannya lebih solid. 

"Saking kecilnya molekul, warna biru yang dihasilkan oleh tanaman indigo bisa masuk ke serat kain paling kecil. Faktor itu yang bisa membuat warnanya tidak luntur dan bisa bertahan lama."

"Bahkan saya pernah melihat ada batik indigo dari 80 tahun lalu itu milik kerajaan. Kualitas warna dan kain juga masih sangat bagus karena indigo bisa memperkuat serat kain," papar Zahir.

Selain itu, warna biru yang dihasilkan dari tanaman Indigo juga memiliki ciri khas yang sangat unik. Warna birunya jika terkena paparan sinar matahari dapat menciptakan rona warna keunguan.

"Kalau ada yang bilang dia punya batik indigo, coba bawa ke sinar matahari."

"Kalau warnanya ada rona keunguan yang memancar, itu indigo asli. Tapi kalau tidak, kemungkinan itu bukan batik indigo."

"Sebab, pewarnaan batik dari indigo dapat membuat rona atau pigmentasinya lebih keluar bila terkena matahari," pungkas Zahir.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/10/24/150804820/pewarnaan-alami-indigo-pada-batik-dan-kearifan-nusantara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke