Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menggambar Mereduksi Simtom Depresi pada Orang Dewasa

MENGGAMBAR adalah salah satu bentuk kegiatan rutin yang sering dilakukan banyak orang dalam kehidupan sehari-hari.

Aktivitas menggambar bisa dilakukan oleh individu dari masa kanak-kanak hingga orang dewasa, bahkan lanjut usia.

Kegiatan rutin menggambar yang relatif sederhana ini juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana terapeutik dalam mengatasi gangguan psikologis. Seperti yang akan diuraikan di bawah ini terkait upaya mereduksi simtom depresi pada seorang mahasiswa laki-laki berusia 21 tahun.

Menggambar merupakan salah satu sarana sederhana terapi seni (art therapy). Art therapy adalah salah satu bentuk sarana terapeutik yang menggunakan fasilitas seni (seperti sarana lukis dan rupa) guna memberikan peluang bagi individu untuk mengekspresikan diri dalam upaya mengatasi konflik internal dan eskternal (American Association of Art Therapist, 2013; British Association of Art Therapists, 2003; Canadian Art Therapy Association, 2017).

Pendekatan terapeutik melalui art therapy memiliki keunggulan seperti: a) membuka peluang individu untuk berekspressi non-verbal dan visual, selain verbal, b) memberikan kesempatan bagi individu berekspresi kreatif dalam mengungkapkan pengalaman dan perasaan, c) membuka peluang eksplorasi alam ketidaksadaran melalui bahasa simbolik, d) relatif berlangsung dalam suasana menyenangkan, dan e) berpotensi meningkatkan daya konsentrasi, pola pikir positif dan rasa percaya diri (Malchiodi, 2005).

Tentunya ragam langkah ini dapat berlangsung dengan catatan bahwa kegiatan tersebut dipandu oleh tenaga profesional karena perlu mempertimbangkan: a) pembinaan rapor (hubungan klien-terapis) sejak awal, b) keterampilan menggunakan perangkat, c) pemahaman memadai dalam mengevaluasi serta menginterpretasi proses dan hasil kegiatan (Malchiodi, 2005).

Salah satu bentuk pendekatan art therapy melalui aktivitas menggambar yang relatif sering digunakan dan memberikan hasil sesuai harapan adalah pendekatan model Ganim (1999).

Pendekatan ini pada umumnya berlangsung sebanyak enam sesi dengan masing-masing sesi berdurasi 60-90 menit, tergantung efektivitas dan efisiensi interaksi klien dan terapis.

Sesi I diawali dengan pembinaan rapor dan melakukan kegitan pengenalan pengalaman emosi melalui visual.

Sesi II diarahkan pada upaya mengidentifikasi gejolak psikologis yang ingin diatasi.

Sesi III diarahkan guna melepaskan belenggu emosi negatif dan mengembangkan perspektif positif.

Sessi IV diupayakan guna me-reunifikasi hubungan psikofisiologis (body-mind) secara visual guna mempersiapkan langkah berikutnya.

Sesi V melakukan transformasi pribadi guna lebih menyadari keberdayaan dan memanfaatkan keberdayaan dalam menghadapi tantangan lebih lanjut. Sesi ini juga dikenal sebagai sesi “transforming the spirit and rebirthing the divine self” (lahir kembali secara spiritual).

Sesi VI sebagai sesi penutup mencakup evaluasi proses pemberdayaan yang telah berlangsung, bahkan hingga pengembangan potensi untuk dapat memberikan kontribusi bagi orang lain.

Semua sesi melibatkan aktivitas menggambar dan diikuti interaksi klien dan terapis guna beroleh umpan balik. Proses ini sebagai upaya memperoleh refleksi dalam penggunaan warna dan bentuk tertentu pada gambar.

Langkah ini merupakan upaya memperoleh pemahaman (insight) pengalaman hidup melalui ungkapan visual.

Contoh kasus:

Seorang mahasiswa (L, laki-laki) berusia 21 tahun mengeluh dirinya merasa tertekan dalam menghadapi hidup yang amat tidak menyenangkan sejak ia masih kecil.

Pada periode 2018-2019, ia menunjukkan simtom depressif (American Psychiatric Association, 2013) seperti perasaan resah, tidak nyaman, merasa kehilangan teman, cenderung merasa sendiri, kerap merenung sendiri di kost, mengalami sulit tidur (insomnia) dan hasil evaluasi test BDI (Beck Depression Inventory) menunjukkan skor tinggi yang mengindikasikan kondisi depresi berat (severe).

Beberapa hasil tes proyektif (tes gambar) menunjukkan indikator yang mendukung hasil tes BDI.

L adalah bungsu dari tiga bersaudara. Ia terpaut 15 tahun dari kakak perempuan yang beberapa tahun terkahir, lebih banyak menunjang kehidupannya karena sudah berprofesi sebagai sarjana teknik.

L kurang mengenal kakak keduanya (laki-laki) karena amat jarang berkomunikasi, bahkan L merasakan bahwa ia seperti anak terlantar dan menjadi korban kekerasan dalam keluarga.

Ia merasa kurang diperhatikan oleh keluarga, senantiasa memperoleh makian, umpatan, cemooh bahkan kekerasan fisik dari ayah terutama jika beroleh nilai sekolah tak sesuai harapan.

Ibu L tidak mampu melindungi tindak kekerasan dari ayah; L berupaya menghindari kondisi tersebut dengan berusaha lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah, tetapi bukan untuk belajar, melainkan berkumpul bersama teman menghindari suasana rumah.

Ia merasa terbelenggu di dalam rumah dan merasa lebih bebas bersama teman di sekolah, tetapi tindakannya di sekolah kian mengganggu karena cenderung mencari perhatian dari lingkungan. Akibatnya ia semakin dijauhi oleh temannya.

Prestasi akademis di sekolah tergolong rendah; L berupaya membina hubungan persahabatan dengan beberapa teman, tetapi hal ini tidak dapat berlangsung lama karena berbagai alasan yang amat mungkin dilandasi oleh sikap dan perilaku L sendiri.

Ia sendiri mengemukakan bahwa temannya cenderung memanfaatkan dirinya (seperti minta uang), ia bahkan “dipalak” oleh para senior.

Di sekolah menengah, ia sempat “berpacaran”, tetapi mudah marah sehingga pacarnya meninggalkannya.

Pergaulan sosialnya relatif terbatas; ia sulit membina interaksi sosial dengan baik, pertemanannya relatif tidak bertahan lama, ia sering merasa ditinggalkan teman-teman atau sekadar dimanfaatkan oleh mereka sehingga lebih memilih menghindar.

Suatu saat, ia didekati senior pria yang dirasakan akrab sehingga mampu berbagi, namun lambat laun ia merasakan tidak nyaman (risih) ketika ia memperoleh belaian dan ciuman.

Di satu pihak tindakan tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman, namun di lain pihak senior ini satu-satunya individu yang dirasa mampu mengayomi dirinya yang mampu menggantikan sosok ayah atau kakak.

Usai sekolah menengah dan memasuki perguruan tinggi, L tetap merasa terasing dari lingkungannya, kerap merasa sendiri, terutama karena hubungannya semakin senjang dengan seniornya.

Rasa kesendirian yang menumpuk akibat kesenjangan interaksi sosial selama bertahun-tahun semakin lama semakin membebani diri dan meningkatkan rasa ketidakberdayaan walaupun ia merasa beroleh suport materi dari kakak perempuan.

Langkah terapi:

Keputusan menggunakan pendekatan art therapy dilandasi pertimbangan: L mengalami hambatan naratif secara kronologis karena merasa pengalaman hidup negatifnya amat kompleks. L bersedia mengungkapkan perasaan secara visual.

Dalam proses awal, L menunjukkan bahwa Ia relatif mampu menggambar dan tidak menunjukkan resistensi mengungkapkan pengalaman secara visual.

Setelah melalui proses pembentukan rapor, L diminta mengungkapkan diri melalui menggambar bebas (free drawing); ia memilih media cat air dan menggambar buah-buahan dalam wadah yang mengingatkan dirinya belajar menggambar pada waktu lampau dalam usaha mempersiapkan diri untuk menjadi arsitek.

Ia gagal memasuki jurusan arsitek dan ia merasa dirinya mengecewakan orangtua di samping merasa gagal memenuhi harapannya.

Ia kemudian menuliskan kata STRESS pada gambar ke 2 dengan warna merah.

Selanjtunya ia menggambar gunung berapi meletus dengan warna merah dan diikuti gambar “scribble” (benang kusut) dengan ragam warna terkesam kusam.

Selama menggambar Ia merasakan seolah kepalanya ingin “meledak” dan scribble merefleksikan alam pikirannya yang dirasakan kusut. Usai menggambar, Ia menyatakan ada rasa “plong” (relieved/ lega).

Pada awal sessi II, selang seminggu dari sessi I, L melaporkan kerap menggambar buah dan rumah. Namun karena menggambar di kertas bekas, Ia tidak mendokumentasikan, Ia banyak membuangnya, tetapi kegiatan tersebut menyenangkan baginya karena mampu mengungkapkan rasa negatif yang Ia alami lalu membuang perasaan tersebut.

Dalam sessi II, ketika diminta menggambarkan identifikasi perubahan psikologis (niat perubahan), Ia menggambarkan gunung dengan langit cerah dan pohon permen (candy trees).

Baginya simbol pohon permen adalah kehidupan yang manis. Proses selanjutnya diisi dengan kegiatan Mandala dan Ia menikmati hingga sessi berakhir; Ia mampu membuat mandala dengan seimbang walau tidak memiliki alasan khusus tentang pemilihan warna dan bentuk yang Ia gambarkan.

Sessi III terkait ikatan emosi negatif yang perlu ditanggalkan; kebetulan Ia merasa gagal ujian, Ia menggambarkan individu bersandar di dinding memikirkan kesedihan di bawah kelompok awan hitam.

Pada gambar selanjutnya Ia menggambarkan bunga merah di dalam vas biru. Ia menjelaskan bahwa bunga di dalam vas tumbuh tidak sesuai habitat asli seperti dirinya yang kuliah tidak sesuai minat melainkan atas kehendak orangtua, tapi berupaya untuk tetap menjalankan yang terbaik agak tetap mekar seperti bunga.

Gambar bunga di dalam vas lebih berwarna daripada gambar orang merenung di bawah alam gelap yang semua berwarna hitam.

Sesi IV merupakan unifikasi psikofisik berlangsung pada minggu ketika senior L menghubungi dirinya dan mengajaknya bertemu kembali.

L merasa sungkan dan kondisi ini menimbulkan gejolak perasaan yang digambarkan dengan Jantung merah terbelenggu pengikat hijau.

Ia kemudian menggambarkan Toga, ijazah dan mesin waktu yang merefleksikan niat merampungkan pendidikan dan mampu menyesuaikan diri dengan waktu, dapat mengalami kembali peristiwa masa lampau namun lebih mampu memahami maknanya.

Ia juga menggambarkan harapan berada bersama teman dan mampu mengatasi masalah kesulitan tidurnya. Ia menggambarkan ranjang, televisi, dan beberapa sosok berada bersama secara skematis.

Sesi V merupakan sessi “rebirthing”, diawali laporan L bahwa selama seminggu terakhir Ia kian beroleh insight tentang pengalaman hidup dan kegagalan yang Ia alami.

Ternyata kondisi serupa juga dialami oleh beberapa temannya, hanya saja mereka tidak bersikap negatif berlebihan atas pengalaman tersebut, bahkan ada di antara mereka yang saling membantu memberi semangat.

Ia merasa telah bersikap berlebihan dan perlu lebih waspada; sementara niat untuk bisa turut memberi semangat pada rekan seangkatan mulai tergugah, dan Ia menggambarkan hati besar berwarna merah.

Ia juga sempat berdiskusi dengan beberapa orang lain dan beroleh masukan bahwa Ia memang sering bereaksi terlalu berlebihan sehingga membuatnya merasa lebih tak berdaya dari kenyataan sesungguhnya.

Sesi VI terarah pada evaluasi diri atas pengalaman sesi-sesi sebelumnya dan Ia menyatakan kondisinya lebih baik (“much better”).

Pernyataan ini ditunjang oleh pasil post test BDI yang menunjukkan nilai pada rentang moderat (moderate), berarti ada perubahan membaik dari kondisi sebelumnya (severe).

Dari evaluasi proyektif (tes gambar orang, pohon dan rumah, pohon, orang) memang belum menunjukkan perubahan bermakna, dan mungkin kondisi ini layak untuk ditindaklajuti.

L kemudian menggambarkan sepasang individu dengan nuansa kebersamaan dan romantika (sepasang individu dengan simbol hati di antara mereka) serta aksen warna biru; ia mengungkapkan niat untuk bisa memberikan semangat dan kontribusi kepada rekannya yang membutuhkan bantuannya.

Langkah proses di atas dapat ditambahkan dengan runtut serupa sebagai tindak lanjut treatment; namun pada saat tersebut terminasi harus dilakukan berkenaan dengan masa kesepakatan treatment.

Langkah art therapy ini memang belum sepenuhnya dapat mengatasi masalah psikologis yang dialami L, apalagi ragam kondisi yang Ia alami berlangsung kronis.

Namun, gejala insomnia relatif teratasi, Ia telah beroleh insight yang lebih baik, lebih mampu menerima kondisi yang harus dihadapi saat ini.

Hasil tes psikologi menunjukkan adanya progres dan sejauh ini lebih sering memanfaatkan waktu menggunakan aktivitas menggambar guna mengevaluasi, bahkan untuk lebih memahami gejolak psikologis yang dialaminya.

Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan art therapy cukup membantu L dalam mereduksi simtom depresi yang selama ini dialami.

*Vivian Chandra, Mahasiswa Program Studi S2 Psikologi UNTAR
Monty P. Satiadarma, Dosen Psikologi UNTAR

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/08/14/162046820/menggambar-mereduksi-simtom-depresi-pada-orang-dewasa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke