Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Keragaman Pangan Lokal, Masuk Akal atau Delusional?

Bisa ditandai, saat cadangan beras mulai menipis dan risiko impor beras muncul, pasti anjuran pengganti pangan pokok ini muncul.

Bahkan belakangan ini, sorghum dan porang alias iles-iles atau konyaku yang diolah seperti bulir beras menjadi tren di kalangan pegiat diet.

Tak dapat disangkal, padi adalah tanaman sumber makanan pokok bagi sebagian besar populasi Nusantara.

Pengaruh budaya, cara, dan jenis makanan di tanah air amat dipengaruhi oleh suku-suku yang memegang peran di bidang pemerintahan, perdagangan hingga gaya hidup.

Sebutlah berbagai suku Jawa dan orang-orang Sumatera memberi kontribusi paling besar bukan hanya di wilayah Indonesia bagian barat, tapi juga hingga ke timur.

Tidak begitu jelas kapan beras pertama kali masuk di Papua, tapi dari sejarah tercatat suku Biak di Numfor sekitar tahun 1700 telah mengonsumsi beras yang bisa jadi akibat pengaruh pendatang pulau Tidore.

Amberkan, Manokwari, dan Raja Ampat adalah wilayah yang telah ditanami padi sejak dahulu. Tapi, seperti di Waigeo Timur dan Barat jenis padinya adalah penghasil beras ketan yang hidup di tanah kering dan bukan untuk konsumsi sehari-hari, melainkan sebagai hadiah atau pesta.

Di awal abad 20, orang-orang Jawa di Papua mulai menanam padi, bahkan di tahun 1951-1953 Pemerintah Belanda mendirikan perusahaan padi Kumbe (Kumbe Rijstproject) yang mendapat dukungan dana Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) – yang diharapkan mencukupi kebutuhan beras di seluruh Nederlands Nieuw Guinea.

Sejak saat itu, Merauke di Papua menjadi salah satu lumbung pangan nasional bersamaan dengan pendatang transmigran yang mengelola ladang-ladang padi di sana.

Istilah ‘food estate’ yang sudah menjadi mimpi kecukupan dan ketahanan pangan nasional sejak era Soeharto -- yang tak pernah tercapai, barangkali menjadi cermin kegagalan jargon keberagaman pangan (makanan pokok).

Mungkin kita perlu menganggap ini sebagai ‘teguran semesta’, saat makanan pokok masih berputar sekitar padi-padian, bahkan iles-iles atau porang pun diproses mirip bulir padi.

Begitu pula ‘beras analog’ dari jagung – ketimbang masyarakat dilatih untuk menikmati pangan utuhnya dalam bentuk aslinya.

Invasi pola makan asing

Invasi pendatang dengan pola makannya, ditambah promosi besar-besaran industri pangan tanpa iklan layanan masyarakat yang berimbang, membuat banyak daerah pelosok mengalami renjatan kultur alias culture shock yang lebih banyak ruginya ketimbang untung.

Di Indonesia timur, adorasi nasi membuat istilah ‘bubur kosong’ banyak diberikan orangtua sebagai makanan pendamping air susu ibu (yang juga sudah dalam titik kritis digantikan susu formula).

Nasi kuning dengan ‘lauk’ mi instan goreng, sudah bukan pemandangan asing lagi di banyak sekolah hingga ke pedalaman Papua.

Video viral beberapa waktu yang lalu soal penduduk menukar panen pisang dengan mi instan sama sekali tidak mendapat tanggapan serius dari para pemangku kebijakan, hanya dijadikan konten penuh ungkapan prihatin dari warga media sosial.

Imbauan mengganti nasi dengan sumber makanan pokok lain, akhirnya menjadi pembicaraan seru penuh kontroversial yang tak jarang ditanggapi dengan sarkastis. Masa makan rendang pakai singkong? Kan enggak nyambung ya… - demikian salah satu ungkapan kekesalan warga.

Barangkali, yang perlu kita lakukan justru mengembalikan pangan lokal sesuai dengan tatanan geografis semula: saat umbi, jagung, dan sagu masih menjadi makanan pokok asli di Indonesia Timur.

Sambil jalan, mulai promosikan aneka santapan Indonesia timur ke arah barat, sehingga di tengah festival kuliner dengan mudah kita bisa menikmati papeda bersama ikan kuah kuning.

Sate ulat sagu bukan lagi jadi bulan-bulanan orang Jawa, yang juga diam-diam makan keong sawah – yang bagi etnik lain juga bisa dinilai ‘tidak biasa’.

Begitu pula aneka tawaran investasi yang masuk ke tanah air, perlu dipertimbangan dengan mengedepankan budaya lokal – bukan menerima mentah-mentah, seakan semua yang berbau asing itu lebih baik atau lebih keren.

Di Seoul, Korea Selatan, gerai kopi ternama Amerika yang juga menjamur di negeri kita, menyediakan menu aneka rebusan jagung, kentang, dan ubi yang bisa dinikmati konsumen.

Sementara di sini, euforia kudapan asing bergula tinggi penuh kandungan rafinasi dan ultraproses dipuja-puji.

Batasi sumber makanan asing demi ketahanan pangan

Salah satu bentuk membela ketahanan pangan, juga dengan membatasi mengalirnya sumber makanan pokok asing berbahan gandum alias terigu – yang semakin membanjiri negri kita.

Bahkan lebih konyol lagi, anjuran makan anak dan bayi yang sedang susah mengunyah nasi justru diarahkan ke roti dan pasta. Ketimbang olahan bubur jagung yang proteinnya amat bagus dan umbi aneka warna dengan kandungan antioksidan prima.

Yang justru perlu menjadi perhatian khusus, juga masalah ‘isu sabotase’: saat kita mau kembali ke pangan utuh yang lebih baik dan tersedia secara lokal, muncul isu-isu miring: mulai dari yang ‘kelihatannya ilmiah’ hingga yang jelas-jelas tak masuk akal.

Mirip seperti gosip seputar konsumsi ikan. Dari mengandung merkuri (padahal beritanya dikutip dari kantor berita asing yang membahas ikan di lautan Atlantik yang bukan perairan kita) hingga penyebab luka tak bisa sembuh dan ‘jadi amis’.

Telur pun kebagian berita miring. Mulai dari bisulan, hingga cara masak yang menyebabkan ‘telur beracun’ – ini semua semakin bikin was-was para ibu yang ingin memberi telur ke anaknya.

Jangan sampai, isu antinutrien jagung akhirnya menyebabkan jagung dihina sebagai sumber karbohidrat – hanya karena istilah antinutrien itu tidak dipahami benar, karena jagung yang dimasak apalagi dibuat bubur justru menghilangkan kandungan antinutrien. Lagi pula siapa sih yang mau makan jagung mentah?

Jika pernah ada pergeseran kultur, di mana orang Indonesia jadi ‘biasa makan roti’ di pagi hari, maka mengembalikan budaya kunyah roti ke jagung dan ubi tentu bukan hal yang sulit, karena itu seperti mengembalikan ke normalitas yang pernah ada.

Tinggal masalahnya: apakah ini semua wacana, cuma ‘lucu-lucuan’ sesaat, atau suatu keseriusan yang perlu mendapat dukungan dari akademisi dan pelaku ekonomi. Bukan hanya ramai di media, saat beras masih laku keras walaupun harganya sudah kelewat batas.

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/10/30/081206120/keragaman-pangan-lokal-masuk-akal-atau-delusional

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke