Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perlukah Kita Sekolah Internasional?

Kompas.com - 26/05/2008, 19:10 WIB

Oleh:Mohammad Faisol

Menghadapi penerimaan siswa baru (PSB) sekarang, kalangan orangtua murid sudah mulai melirik sekolah-sekolah yng dianggap tepat, meski ukuran tepat ini masih mengundang diskursus. Tepat bagi anak-anaknya ataukah sekadar memenuhi obsesi dan ambisi orangtua (keluarga)? Faktanya, dewasa ini sekolah telah menjadi kendaraan berbagai kepentingan manusia dalam hidupnya.

Sekolah, kata AM Rahman dalam Sekolah, Tahta Kaum Ilmuwan (2004), merupakan mahligai sakti mandraguna yang bisa melabuhkan ambisi seseorang dalam meraih keningratan dalam hidupnya. Selain itu, juga bisa digunakan sebagai jembatan emas dalam mengantarkan anak-anak bangsa menjadi pelaku sejarah yang tidak membebani masyarakat dan bangsanya.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa sekolah dapat dijadikan sebagai alat atau "mesin" yang tepat untuk mengantarkan pelajar (anak- anak didik) dan keluarganya dalam mewujudkan ambisi-ambisi besarnya. Salah satu wujud ambisi besarnya adalah meraih pembenaran status sosial baik dalam level lokal, nasional, maupun global.

Lekatnya sebagai bangsa simbolis, gila gelar, maniak pangkat, atau arogan dengan berbagai stigma, telah membuat masyarakat negeri ini dijadikan sebagai pasar empuk, kelinci percobaan, atau lahan basah di kalangan pemilik modal, oportunis dalam memburu keuntungan gampang, atau pihak-pihak yang cerdas dalam membaca peta orientasi sekolah yang masih dominan dijadikan kendaraan merebut dan mendapatkan label-label baru. Salah satu label baru yang "digilai" oleh masyarakat posmodern ini adalah identitas-identitas berbau global (internasional), dan bukan condong pada perburuan prestasi dan reputasi, seperti dalam kasus sekolah-sekolah internasional, yang belakangan ini marak.

Sekolah-sekolah internasional ini terbaca bukan sebagai institusi yang tertuntut melakukan internanalisasi nilai-nilai moral-edukatif, tetapi lebih tertuju untuk memenuhi ambisi dan arogansi sebagian elite bangsa yang bermaksud mendapatkan prediket neo-borjuisme. Neo- borjuisme merupakan stigma dari seseorang yang menjadikan sekolah berkelas elite sebagai kendaraan pembenaran status.

Asal ada level sebagai pelajar atau output sekolah internasional, meski bukan berkualitas internasional, mereka tetap menempatkannya sebagai pilihan. Pilihan ini sebagai tampilan dirinya kalau sekolah internasional bisa merepresentasi kondisi status sosial-ekonominya yang dikenal sebagai miliknya kaum berduit, sementara mereka yang berasal dari kalangan bawah (lower society) tidak layak memasukinya. Fasilitas

Adalah fantastik mengenai kehadiran sekolah internasional. Pasalnya, tahun lalu saja sekolah-sekolah yang menggunakan standar internasional menarik uang masuk di kisaran puluhan juta rupiah, sedangkan uang sekolahnya Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per bulan. Bisa dibayangkan siapa saja yang bisa menikmati model dan fasilitas pendidikan istimewa kalau bukan anak-anak yang berasal dari kalangan the high class.

Fenomena sekolah bertaraf internasional yang semakin digemari merupakan mangsa empuk bagi para pemilik modal untuk meraup keuntungan. Karena iming-iming sekolah internasional dapat menjamin penghidupan yang layak, para pemilik modal tidaklah susah untuk mendapatkan konsumen setelah mendirikan sekolah tersebut meski dengan harga yang melangit.

Kemunculan sekolah-sekolah internasional bukannya tidak menimbulkan bentuk dilematika tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Di satu sisi, sekolah-sekolah nasional bertaraf internasional memiliki beberapa keuntungan lantaran sumber daya manusia kita diharuskan bertarung dengan berbagai sumber daya manusia dalam kancah dunia global.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com