Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (195): Air

Kompas.com - 05/05/2009, 07:57 WIB

Chura bergesekan dan bergemerincing ketika barisan wanita-wanita dari dusun Ramser ini berjalan menyuri gundukan-gundukan pasir, masing-masing mengusung kendi tanah liat di kepalanya.

Matahari yang menyengat bukan masalah. Pasir halus adalah penyerap panas, yang ikut memancarkan kembali panas mentari di permukaan bumi. Tetapi perempuan-perempuan ini sama sekali tak masalah menyeret kaki di atas lapisan pasir yang terus membakar. Ini sudah menjadi keseharian mereka.

Dua kilometer mereka berjalan, menuju sumur tua di tengah padang. Di sana sudah menunggu beberapa orang laki-laki, bocah-bocah, dan empat ekor keledai. Keledai inilah yang menimba air dari sumur yang dalam itu. Keempat hewan malang ini dipasung lehernya dengan papan kayu, yang tersambung dengan tali tambang pada katrol sumur.

Di ujung lainnya, ada timba karet ukuran ekstra besar. Sekali menimba, bisa langsung dapat air seberat 25 kilogram. Tak perlu tenaga manusia, karena keledai-keledai adalah hewan yang tangguh lagi bandel. Cuma cukup seorang bocah untuk mengendalikan jalan para keledai ini untuk menempuh lintasan lurus sejauh seratusan meter.  

Perlahan-lahan, timba karet penuh berisi air itu menampakkan diri dari dalam sumur yang dasarnya gelap pekat itu. Kini giliran para pria desa membagi-bagikan air kepada para penduduk. Para perempuan langsung berebutan mengisi kendi-kendi mereka. Bocah-bocah mengisi ban karet yang ada di pundak keledai-keledai, alat angkut nomer satu di pedalaman gurun. Kakek tua pun juga tak kalah riangnya, cepat-cepat mengisi kendinya dan langsung mengubur dalam-dalam di pasir, seperti menyimpan harta karun yang tak ternilai harganya. Selepas itu masih dikunci gembok gerendel yang ukurannya ekstra besar.

Air begitu berharga di sini. Setetes air adalah sejumput kehidupan. Air sumur harus dijaga baik-baik agar tak sampai dicuri. Orang-orang desa harus diatur gilirannya supaya sumur tak sampai kering. Keledai-keledai pun diperas tenaganya untuk mengangkat air dari dalam sumur yang begitu dalam. Betapa cerianya wajah-wajah itu melihat aliran air bening mengisi pipa-pipa, mengalir deras dari timba karet yang muncul dari bibir sumur. Saya mencicip sedikit. Uuuh... rasanya masam, busuk, dan penuh pasir.

Tetapi air masam inilah yang menjadi denyut nadi  kehidupan di padang kerontang ini.

(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com