Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Cak Nun Bertutur tentang Persoalan Bangsa

Kompas.com - 27/01/2010, 17:36 WIB

Ketika berbicara demokrasi, misalnya, Cak Nun dengan tanpa ragu-ragu mengatakan bahwa demokrasi itu harga mati. Al-Qur’an boleh bilang bahwa dirinya la roiba fih, tak ada keraguan padanya. Tetapi menurut undang-undang di negeri ini, kata Cak Nun, orang boleh meragukan Al-Qur’an, tidak melanggar hukum jika meninggalkannya, bahkan terdapat kecenderungan psikologis empirik untuk menganjurkan secara implisit sebaiknya orang menolak dan membencinya.
Tetapi berbeda dengan demokrasi. Bagi Cak Nun, demokrasi-lah la roiba fih yang sejati. Sebab, di dalam praktik konstitusi negeri ini, demokrasi lebih tinggi dari Tuhan. Tuhan berposisi dalam lingkup hak pribadi setiap orang, sedangkan demokrasi terletak pada kewajiban bersama, dan itu berarti juga kewajiban pribadi. Artinya, orang tidak akan ditangkap karena mengkhianati Tuhan, tetapi berhadapan dengan aparat hukum jika menolak demokrasi (hlm. 54-55).

Begitu pula ketika bicara tentang korupsi. Bagi Cak Nun, tidak gampang mengukur kadarnya korupsi di negeri ini apakah sebagai suatu “penyakit sistem” (struktural), sebagai “penyakit manusia” atau “penyakit budaya” suatu masyarakat yang berada dalam sistem yang sama? Karena yang menarik dari fenomena korupsi adalah, jauh sebelum melakukan korupsi di tataran kenegaraan dalam konstitusi dan birokrasi, sejak dini masyarakat kita sudah lihai melakukan korupsi iman, ilmu, waktu, cara berpikir, dan sejatinya isi hati (hlm. 125).

Tetapi demikian, Cak Nun tetap kekeh mengatakan bahwa Indonesia itu luar biasa. Coba bayangkan, puluhan juta keluarga bisa hidup tanpa rasionalitas ekonomi, gaji tak cukup untuk makan keluarga tapi kredit motor, tak ada kerjaan tapi merokok sambil main catur, kalau ditanya bagaimana makan minum keluargamu, mereka menjawab: “Bismillah, Cak”. “Ahli statistik di belahan bumi sebelah manapun tidak pernah mencatat makanan utama bangsa Indonesia adalah bismillah. Dan sesungguhnya apa yang terkandung di balik “bismillah” itu adalah kelonggaran-kelonggaran sistem budaya korupsi di berbagai celah kehidupan yang memungkinkan mereka tetap bisa survive.” (hlm. 128).

Pada titik inilah, membaca esai-esai alumnus International Writing Program di lowa University, Amerika Serikat (AS) ini menjadi penting kiranya. Gaya tutur yang lugas, nyentil, gayeng (cair), dan penuh aroma sastrawi serasa membuat kita enggan berhenti membacanya. Pun lebih mudah menguak pesan yang tersaji dalam tiap jengkal lembar karya bagus ini.
Buku ini murupakan kompilasi esai-esai Cak Nun yang telah dipublikasikan di pelbagai harian nasional, khususnya Kompas. Hanya saja, penataan tema yang kurang sistematis dan runtut menjadi satu catatan dalam buku setebal 282 halaman ini.

*) Peresensi adalah Ali Rif’an, Pemerhati Budaya, Pengelola Rumah Pustaka FLP Ciputat, dan Peneliti di Community of People Against-Corruption (CPA-C) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com