Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biarkan Anak-anak Bermain

Kompas.com - 05/02/2010, 03:43 WIB

Oleh Idha Saraswati

Anak-anak sekarang dihadapkan pada berbagai jenis kompetisi, mulai dari kontes idola sampai lomba melukis. Orangtua pun sibuk mengantar anaknya dari lomba ke lomba yang menjanjikan piala dan kebanggaan itu. Tetapi, apakah kompetisi semacam itu benar-benar dibutuhkan anak? 

Psikolog dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Tjipto Susana, mengatakan, akhir-akhir ini memang banyak kontes talenta yang muncul di televisi. Orangtua yang ingin anaknya populer segera mendaftarkan mereka sebagai peserta. Kondisi semacam ini tidak lepas dari berjangkitnya budaya hidup instan di masyarakat.

Menurut dia, kultur kolektif di Indonesia masih sangat kuat. Oleh karena itu, ada semacam pandangan bahwa kesuksesan anak menjadi cermin kesuksesan orangtua dan keluarga. Di tengah lingkungan yang semakin individualis, pandangan semacam itu bisa tidak mendukung perkembangan anak.

Bercita-cita menjadi idola tentu tidaklah salah. Namun, orangtua mestinya tidak memaksa anaknya menjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan kemampuan dan keinginan anak. ”Anak-anak yang dipaksa seperti itu hidupnya tidak akan happy karena selamanya akan bergantung pada reward dari masyarakat yang sifatnya semu,” jelasnya.

Kontes-kontes semacam itulah yang menjadi pangkal kegelisahan pelukis Yogyakarta, Yuswantoro Adi, dan teman-temannya. Saat diminta menjadi juri dalam sebuah lomba melukis, ia mendapati karya lukis anak-anak peserta lomba yang cenderung seragam. Awalnya itu tidak terasa mengganggu. Namun karena kecenderungan semacam itu ia temui dari lomba ke lomba, ia pun menaruh curiga.

Setelah ditelusuri, ia menemukan jawabannya. Rupanya kini bermunculan sanggar lukis yang khusus mengajari anak-anak pemenang lomba. Orangtua yang ingin anaknya menjadi juara pun aktif memasukkan anaknya ke sanggar-sanggar semacam itu.

”Karya anak-anak cenderung seragam karena selama di sanggar mereka diajari untuk melukis dengan gaya tertentu yang menurut sanggar itu paling bagus. Jadi standar lukisan anak yang bagus itu ditetapkan, anak tidak ditanyai lukisan yang bagus menurut mereka itu seperti apa,” kata Yuswantoro, pekan lalu.

Buat Yus, kisah dari ajang lomba lukis itu bisa jadi hanya satu potongan kecil dari cerita besar tentang kondisi anak masa kini. Dan kenyataan itu membuatnya benar-benar khawatir. ”Memangnya nanti kalau sudah besar mereka pasti jadi pelukis? Mestinya anak-anak dibiarkan menjadi dirinya sendiri,” ucapnya.

Sutradara teater Nano Asmorodono menambahkan, fenomena yang ditemukan dalam lomba seni lukis itu juga terjadi di banyak bidang lain. Orangtua kerap mendaftarkan anak-anaknya ikut lomba dan melakukan apa pun agar anaknya menang. Orangtua memaksakan kepentingannya sendiri terhadap anak sehingga kebutuhan anak justru tidak diperhatikan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com