Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Untuk Apa Menikah?

Kompas.com - 23/03/2010, 08:01 WIB

Alasan menikah karena cinta dari hasil penelitian Patterson & Kim itu merupakan alasan terbanyak, sama dengan hasil penelitian dekade (10 tahunan) sebelumnya yang dilakukan oleh Pietropinto & Simenauer (1979). Namun, persentase alasan cinta pada penelitian yang sebelumnya ini lebih besar, yakni 56% pada wanita dan 39% pada pria.

Penelitian-penelitian tersebut memang dilaksanakan beberapa belas tahun lalu, dan yang lain telah lebih dari 20 tahun lalu, itu pun dilakukan di Amerika Serikat. Sayang sekali sulit untuk menemukan hasil survei seperti itu di Indonesia.
Jika survei itu dilakukan di Indonesia, kita akan mendapatkan hasil yang benar-benar menggambarkan keadaan di Indonesia tentang alasan mengapa seseorang memutuskan menikah, termasuk pergeseran-pergeseran nilai (value) yang menjadi latar belakangnya.

Meski demikian, dengan data tersebut, kita dapat mengasumsikan lebih kurang sama dengan keadaan di Indonesia, mengingat di sini cinta juga paling dapat diterima sebagai alasan menikah. Alasan-alasan lain, seperti memiliki keturunan, melengkapi status, dan alasan ekonomi,  juga sering terdengar meski bukan alasan terbanyak.
Apakah alasan menikah karena cinta ini pada masyarakat kita juga makin berkurang jumlahnya? Kita dapat menduga hal itu juga terjadi, melihat kenyataan makin banyak orang sulit menemukan pasangan hidup meski usia telah matang.

Salah satu petunjuk ialah semakin diminatinya rubrik jodoh pada sejumlah media massa (cetak dan elektronik). Tampak bahwa kebutuhan menikah lebih dulu mencuat sebelum menemukan orang yang dicintai. Pada akhirnya, mungkin banyak yang menikah sebelum benar-benar menemukan cinta pada pasangan.

Dimulai dengan cinta?
Bahwa cinta merupakan alasan menikah paling ideal dan paling banyak menjadi alasan menikah, tetapi apakah memang perkawinan harus dimulai dengan cinta?
Alkisah, seorang wanita lajang yang sangat cantik, berusia 43 tahun, sangat percaya bahwa tanpa cinta, perkawinan akan sia-sia. Karena orang yang dicintainya telah menjadi milik orang lain, ia memilih tidak menikah. Meski banyak orang yang mendekatinya dan tak jarang ia merasa kesepian, ia merasa lebih baik tidak menikah apabila tidak dengan orang yang dicintai.

Benarkah bahwa perkawinan harus dimulai dengan cinta? Seperti yang dinyatakan beberapa tokoh (Rogers, 1972; Buss, 1985), dalam perkawinan yang diharapkan terutama adalah hubungan erat yang intim, hangat, dan jujur. Jika dilandasi dengan cinta, relasi yang intim-hangat-jujur, lebih dapat diwujudkan.

Meski demikian, melalui berbagai kisah yang pernah kita dengar dari generasi kakek dan nenek kita, kita juga menemukan kenyataan bahwa kebahagiaan dalam relasi perkawinan juga dapat dicapai meski hanya dimulai dengan komitmen. Dimulai dengan komitmen (tidak sedikit yang menikah karena dijodohkan orangtua) untuk menikah, mereka terus membangun hubungan, mengembangkan cinta, dan menemukan kebahagiaan dalam perkawinan.  

Jadi, di dalam cinta memang ada komitmen; tetapi melalui komitmen timbal balik untuk merajut cinta juga dapat diharapkan bahwa cinta yang sebenarnya akan dapat tumbuh. Hasilnya, relasi yang intim-hangat-jujur dalam perkawinan sama-sama dapat diwujudkan.

Namun, dalam zaman yang menawarkan banyak pilihan, seperti sekarang ini, tidak mudah lagi orang memulai perkawinan hanya dengan komitmen. Orang lebih mudah mengarahkan komitmennya pada hal lain (pekerjaan, hobi, dan lain-lain) daripada berkomitmen pada seseorang tanpa ketertarikan yang kuat.

Menikah atau tidak
Relasi yang intim, hangat, dan jujur merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang dalam mengisi hidup ini. Hubungan yang penuh cinta dapat mewujudkan hal itu. Dengan cinta, seseorang dapat mengisi kekosongan dirinya, yang oleh Erich Fromm disebut sebagai kekosongan eksistensial.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com