Sementara, Ketua Center for Micro and Small Enterprise Dynamic (CEMSED) Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Bayu Wijayanto di Salatiga, Minggu (23/5), menyebutkan, diperlukan semacam peta kuliner yang disiapkan pemerintah kabupaten/kota untuk memandu orang yang baru pertama berkunjung ke wilayah Jateng.
Menurut Bayu, belum ada satu pun kabupaten/kota di Jateng yang khusus menyiapkan peta semacam ini. Padahal, dengan porsi pengeluaran makanan wisatawan sekitar 30 persen, jumlah uang yang beredar di sektor ini sangat besar. Belum lagi yang mendapat manfaat merupakan usaha kecil dan menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi kerakyatan.
"Tentunya setelah berani membuat peta itu dan membagikannya secara cuma-cuma, pemerintah juga harus membantu memfasilitasi sekaligus mengawasi agar kualitas kuliner itu tetap terjaga," kata Bayu.
Selain kendala promosi, penjual kuliner, terutama di kawasan wisata, kerap kesulitan mengatur ketahanan modal. Apalagi, untuk mengakses kredit perbankan, mereka kerap kesulitan karena berhadapan dengan keharusan menyediakan agunan.
"Kalau sedang liburan, kami harus sedia barang sampai lima kali lipat. Sementara siklus usaha kuliner di lokasi wisata itu sebelum liburan, modal terpakai untuk menutupi masa sepi," ujar Fristiono (33), penjual tahu serasi dan sate kelinci di Bandungan.
Sebagai gambaran, pada musim liburan, dari kedai makannya yang sederhana, omzet Fristiono berkisar Rp 2,5 juta-Rp 7 juta per hari. Sementara saat hari biasa nonliburan, omzet usahanya berkisar Rp 100.000-Rp 500.000 per hari. (eki/gal)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.