Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gado-gado, Arem-arem, Oseng-oseng...

Kompas.com - 27/08/2010, 08:01 WIB

Kompas.com — APAKAH yang ada di benak Anda ketika mendengar nama-nama makanan itu? Banyak nama makanan yang diulang, ada juga nama makanan yang diambil karena sensasi rasa dan suasana saat mengonsumsi makanan itu. Ada juga yang mencantumkan nama kota asal makanan itu. Khazanah makanan di Nusantara sangat melimpah dan unik. Tak kalah uniknya adalah cara memberi nama makanan-makanan itu.

Adalah sebuah toko oleh-oleh di pinggir Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara. Toko ini sebenarnya biasa-biasa saja. Akan tetapi, ketika melihat nama makanan yang dijual, pengunjung akan kaget atau setidaknya tersenyum. Ada delapan makanan, yaitu ting-ting, teng-teng, tang-tang, tong-tong, tung-tung, pang-pang, ping-ping, dan pong-pong. Unik!

”Soal nama yang berulang itu terkait dengan proses pembuatannya. Dalam proses pembuatan atau pemasakannya, ada proses pengulangan yang dilakukan hingga berkali-kali atau juga pencampuran yang berulang-ulang hingga nama proses itu melekat di dalam nama makanan,” tutur Jongkie Tio, pemilik Restoran Semarang, di Semarang, menduga cara penamaan berbagai makanan itu.

Dalam catatan Jongkie, selain gado-gado dan oseng-oseng, masih ada nama makanan yang diulang, seperti untir-untir, iwel-iwel, hawug-hawug, arem-arem, intel-intel, ating-ating, pia-pia, tela-tela, gela-gelo, ote-ote, suwar-suwir, dan heci-heci. Ada lagi, bolang-baling, orak-arik, onde-onde, ongol-ongol, otak-otak, ting-ting, ento-ento, dan oblok-oblok. Kebanyakan makanan itu merupakan makanan etnis Jawa dan Tionghoa Peranakan.

Soal arti pengulangan nama makanan itu, ia mencontohkan di Jawa ada makanan yang namanya orak-arik. Makanan ini merupakan campuran sayuran dan telur. Untuk membikin makanan ini, tidak bisa didiamkan. Campuran itu harus berkali-kali diacak-acak agar menjadi makanan dengan nama orak-arik itu.

Jongkie juga mencontohkan, pembuatan kue onde-onde dilakukan dengan menggelundungkan kue yang berbentuk bola di hamparan biji wijen agar wijen melekat di bola kue.

Menurut Prof Posman Sibuea, efek dari proses seperti pemasakan atau pencampuran yang berulang-ulang adalah menyinergikan rasa. Rasa dari beberapa bahan menjadi satu dan lebih keluar. Sangat mungkin juga saat pemasakan dan pencampuran yang berulang itu sejumlah senyawa keluar sehingga makin memberi rasa pada makanan. Ia yakin cara-cara tradisional dalam pencampuran yang berulang-ulang itu belum bisa digantikan dengan mesin. Cara-cara manual itu tetap digemari banyak orang karena rasanya lebih cocok di lidah dibandingkan dengan menggunakan mesin.

”Semisal, sambal yang diblender rasa pedasnya berbeda dengan sambal yang diulek. Orang lebih menyukai sambal yang diulek. Dalam kajian teknologi, minyak atsiri di dalam sejumlah bahan ternyata tidak keluar kalau hanya diblender. Minyak yang juga memberi rasa itu ada di dalam sel-sel jaringan dan akan keluar kalau ditumbuk dengan batu,” kata Posman.

Oleh karena itu, persoalan ini bukan hanya persoalan sensasi ulekan saja, tetapi secara teknologi memang bisa dijelaskan seperti itu. Oleh karena itu, proses pembuatan makanan yang dilakukan dengan pengulangan itu sampai sekarang sangat sulit untuk digantikan dengan mesin karena konsumen memang lebih memilih makanan yang diproses secara manual.

Sebagai catatan, makanan-makanan yang namanya berulang itu umumnya berada di daerah atau tempat yang pengaruh kuliner Tionghoa-nya sangat kuat. Catatan ini masih perlu diteliti lebih lanjut, tetapi sejumlah makanan tersebut yang berbahan baku gandum tak terbantahkan lagi memang berasal dari China. Di beberapa tempat tidak sedikit penjualnya adalah orang Tionghoa.

Penamaan makanan dengan pengulangan itu hanya satu di antara berbagai cara masyarakat Nusantara memberi nama pada makanan. Banyak makanan dinamai asal-asalan, berdasar nama tempat, dan lain-lain.

”Masakan kuno dinamai karena pengaruh suasana, nama tempat, efek makanan ke badan, dan lain-lain. Semisal nama makanan rondo royal. Nama ini diambil dari anggapan kegenitan seorang janda. Saat dimakan lidah harus naik turun yang terlihat genit. Dari situlah nama rondo royal muncul,” kata Jongkie.

Nama sekenanya

Dulu orang memberi nama makanan sekenanya saja, sambil lalu, suka-suka. Istilahnya sangat arbitrer. Meski pemberian nama itu serampangan, tetap ada kriteria yang sangat masuk akal sehingga menjadi ciri tersendiri bagi setiap makanan itu.

Ia mencontohkan lagi makanan yang disebut kuah cemplung yang dipakai untuk acara keagamaan di kalangan orang Tionghoa. Ia mengisahkan, bakso yang terbuat dari tahu sewaktu masak dimasukkan ke dalam kuah dan bunyinya terdengar ”mak plung”. Jadilah makanan itu dinamai kuah cemplung.

Contoh lainnya, makanan yang disebut trasikan kadang disebut lara gudig karena waktu di mulut terasa kasar dan berwarna hitam putih hingga mirip penyakit gudig, sejenis penyakit kulit. Ada juga bir Semarang. Meski berisi rempah-rempah, minuman itu disebut bir. Ceritanya, pada saat penduduk menjaga rumah Belanda melihat majikannya tengah minum bir. Untuk meniru kebiasaan itu, mereka ikut minum yang juga membikin badan jadi panas.

Cara penamaan lainnya adalah dengan menggunakan tambahan nama kota semisal soto medan, dodol garut, pecel madiun, sate padang, pisang pontianak, sate madura, gudeg yogya, bika ambon, dan lain-lain. Penamaan ini untuk mencirikan asal-usul makanan itu dengan berbagai ciri khas masing-masing.

Akan tetapi, ada beberapa hal yang tak bisa dijelaskan penyebabnya, seperti nama sate madura tidak akan ditemui di Madura, nama sate padang juga tak akan ditemui di Padang, dan juga nama gudeg yogya tidak akan ditemui di Kota Yogyakarta, serta yang sangat aneh adalah nama bika ambon yang malah mudah ditemukan di Medan. Sebaliknya, soto medan, dodol garut, dan beberapa makanan lainnya tenar dan mudah ditemukan di tempat asalnya.

Kisah penamaan makanan yang menggunakan nama kota mungkin bisa dipelajari dengan melihat kasus soto medan. Nama soto medan diperkirakan belum lama muncul. Nama soto medan banyak digunakan pada saat sejumlah soto dari berbagai daerah mulai masuk ke Medan.

”Nama soto medan muncul belum lama, sekitar tahun 1980-an. Sewaktu saya kecil hanya mengenal nama soto. Belakangan nama soto medan muncul sepertinya untuk membedakan dengan soto lain yang masuk ke Medan,” kata Kepala Pusat Studi Ilmu-ilmu Sosial dan Sejarah Universitas Negeri Medan Ichwan Azhari.

Ia menduga penamaan soto medan oleh penjual soto adalah untuk mempertahankan ciri soto yang ada di Kota Medan karena berbeda dengan soto lain, seperti soto padang, soto madura, soto kudus, dan soto betawi yang sekarang banyak ditemukan di Medan.

Apalah artinya sebuah nama? Sudah pasti nama mempunyai arti penting. Di tengah maraknya wisata kuliner di Nusantara, kisah atau riwayat penamaan makanan menjadi penting, baik untuk memberi wawasan bagi penikmat kuliner maupun untuk kajian sejarah dan antropologi. Kita memiliki makanan dengan nama-nama yang sangat unik. (Andreas Maryoto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com