Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Devy Suradji, "The Flying Mom"

Kompas.com - 24/10/2010, 09:13 WIB

Indonesia banget
Devy sempat menghabiskan beberapa tahun masa kecilnya di Amerika Serikat karena mengikuti ayahnya yang sedang kuliah. Setelah dewasa dan bekerja, dia sering bepergian ke luar negeri dan bergaul dengan orang dari aneka bangsa. Meski begitu, dia tidak merasa sebagai ”warga dunia” yang kosmopolitan. Dia tetap merasa 100 persen Indonesia banget.

Meski bicaranya campur-aduk antara bahasa Indonesia dan Inggris—dia menganggap itu sebagai kelemahan utamanya—dia tetap berpikir dan bertingkah laku seperti orang Indonesia kebanyakan. ”Teman-teman saya di luar negeri heran. Saya punya karier dan penghasilan sendiri, tetapi masih mau repot-repot men-service suami. Saya jawab, itu bukan service. Saya hanya ingin be a right wife. Mengapa? Karena saya orang Indonesia.”

Selera makannya pun Indonesia banget. Siang itu, dia mengajak kami makan siang dengan lauk sayur mangut—ikan dimasak santan—dan tahu isi goreng. Tidak lupa, dia menyediakan cabai rawit mentah yang bisa langsung diklethus.

Kami makan di teras rumah yang menghadap langsung ke sebuah taman cantik. Di sana ada tanaman hias, rumput hijau, kolam ikan, gemericik air, dan air yang merayap turun di dinding setinggi dan selebar kurang lebih 4 x 15 meter.

Rumah itu menjadi semacam oase di tengah aktivitasnya yang padat dan dinamis. ”Kami belum tentu setiap hari bertemu suami. Kadang saya baru pulang dari Bali, eh suami saya pergi ke Bali. Tetapi, you know kami punya our time dan saat untuk quality talk, yakni ketika kami berkendaraan bersama menuju kantor,” katanya dengan sisipan bahasa Inggris di sana sini.

Karier dan rumah tangga juga tidak menghalangi Devy untuk memiliki waktu guna sekadar bersenang-senang melepas lelah. Dia biasa kumpul-kumpul dengan koleganya setiap Jumat malam. ”Friday is a game night buat kami. Saya tidak melarang suami saya pergi malam itu sebab dia juga punya banyak teman. Buat saya, go out itu penting untuk sosialisasi dan networking,” ujar Devy.

 

Saya cinta Jakarta
Devy tahu bagaimana mengurus lingkungan yang sehat dan nyaman. Namun, dia harus menerima kenyataan hidup di Jakarta yang kualitas lingkungannya sebagian besar amburadul. Antara apa yang dia pelajari dan apa yang dia lihat berbeda bagai bumi dan langit.

Di kota ini nyaris setiap hari dia harus berhadapan dengan kemacetan. Nyaris setiap saat dia menyaksikan orang dengan enaknya membuang sampah sembarangan. Tidak sakit hati?

”Ha-ha-ha. Kalau Anda tidak cocok tinggal di sini, sebaiknya Anda pindah. Itu jalan yang paling mudah,” katanya.

Seburuk-buruknya kondisi Jakarta, Devy tetap jatuh cinta pada kota ini. ”Di sini, kehidupan benar-benar hidup 24 jam. Mau cari apa saja masih bisa. New York saja belum tentu seperti ini,” selorohnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com