Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lucy Cahyaningtyas: Mencari Esensi

Kompas.com - 21/02/2011, 08:37 WIB

KOMPAS..com - Tak mudah mengelabui Lucia Cahyaningtyas (33) dengan tampilan luar, seberapa pun kerennya. Desainer grafis yang bermukim di Hongkong itu tahu benar tampilan visual sering kali tak terhubung dengan esensi yang hendak dikomunikasikan.

”Jadinya malah kayak tempelan, gimmick, enggak ada soul, bagus di luar, kosong di dalam, enggak ada esensinya, malah terkesan pura-pura,” celoteh Lucy—begitu dia disapa—ramai dan penuh canda.

Lucy menengarai berbagai tipe masyarakat dari beragam kebudayaan. Maklum, sepuluh tahun terakhir ini ia bermukim di AS, Inggris, belakangan Hongkong. Demi proses kreatifnya, ia juga bertualang ke banyak negara.

”Ada yang seneng tampil dan menganggap citra sebagai segala-galanya,” tutur Lucy di sela senyumnya yang merekah.

Dia mengamati tampilan visual restoran dengan menu makanan tradisional di Jakarta, dari menu sampai interior, seperti kafe-kafe di Soho, New York.

”Secara estetika, desainnya seru, tetapi enggak nyambung dengan menu makanan, lingkungan, tamu yang datang, dan juga karakter pengelolanya,” kata Lucy, sambil melahap croissant, sarapannya pagi itu, di Grha Bima Sena, The Dharmawangsa, Jakarta.

Banjir klien
Lucy baru tiba dari Hongkong malam sebelumnya, tiga hari di Jakarta karena ”kangen rumah” dan makanan tradisional, dari soto sulung sampai nasi padang, sebelum terbang ke Bali untuk berlibur. Salah satu kakaknya, Cynthia, terbang dari Singapura untuk menemani.

”Lumayan escape bentar, kebetulan Mamat sedang ada kerjaan di Perancis,” kata Lucy. Mamat adalah panggilan sayang Lucy kepada suaminya, pria asal Perancis, Matthieu Naudy.

Beberapa bulan terakhir ini, Lucy mengaku tak cukup istirahat karena klien yang menggunakan jasa Totango Design Studio Ltd mulai banyak sampai harus ditolak. Tampaknya ia tak mau proses kreatifnya terganggu dengan target jumlah klien. Ia yakin proses itu akan menentukan posisinya di tengah persaingan ketat dunia kreatif.

”Tantangan terbesarnya adalah cara berpikir dan kebudayaan, tak hanya soal bahasa,” kata Lucy.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com