Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemajuan Semu Perempuan Indonesia

Kompas.com - 11/03/2011, 05:23 WIB

Kesadaran manusia di dunia digedor peristiwa kebakaran pabrik garmen Triangle Shirtwaist di kota New York yang menewaskan 146 imigran buruh, sebagian besar perempuan, dalam 30 menit, Sabtu, 25 Maret 1911.

Tragedi di lantai delapan pabrik yang digembok dari luar itu menjadi penanda perjuangan hak-hak perempuan, khususnya buruh, menandai Hari Perempuan Internasional (IWD), dicetuskan aktivis dan politisi Jerman, Clara Zetkin, 8 Maret 1911.

Namun, seabad setelah peristiwa itu, tragedi serupa terus terjadi. Prasangka terhadap perilaku perempuan—dalam kasus di New York, seabad lalu, pemilik pabrik menganggap perempuan suka mencuri dan melarikan diri sehingga pemilik pabrik menguncinya dari luar— tidak memudar, justru bertambah pekat.

Kondisi itu dipicu pertarungan berbagai ’isme’ di dunia internasional yang masuk ke tingkat negara melalui berbagai peraturan dan kebijakan internasional dan berujung pada kekuasaan politik dan sumber daya.

Diskriminasi yang melahirkan kekerasan terhadap perempuan terus berlangsung.

Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1325 mengenai Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (dalam arti luas) menjadi pepesan kosong. Di Indonesia, pemerintah bahkan bungkam ketika eksistensi negara terancam para pelaku kekerasan.

Berpunggungan

Banyak data direkam organisasi nonpemerintah untuk isu perempuan di Indonesia. Barisan Perempuan Indonesia (BPI)—koalisi lebih 35 organisasi nonpemerintah—dalam aksi damai memperingati seabad IWD menyatakan, rata-rata per hari 12 perempuan buruh migran tewas di negara tempatnya bekerja, 1.600 perempuan buruh mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), 20 perempuan menjadi komoditas seksual perdagangan orang, dan 12 lainnya menjadi korban kekerasan seksual, 48 perempuan mati melahirkan, 5,3 juta perempuan 15 tahun ke atas buta aksara.

Semua ini ditelan hiruk-pikuk ”kemajuan” perempuan Indonesia, padahal dari segi keterwakilan di lembaga-lembaga negara pun jauh dari harapan. Di jajaran eksekutif, hanya ada empat perempuan yang jadi menteri dari 34 kursi menteri, dua gubernur dari 33 provinsi, lima bupati/wali kota di 470 kabupaten kota. Di lembaga yudikatif hanya ada dua hakim agung di Mahkamah Agung dan satu hakim di Mahkamah Konstitusi.

Memang jumlah perempuan di parlemen meningkat, menjadi sekitar 18 persen dari 12 persen, tetapi suara mereka terpenjara pandangan partai. Hanya satu yang ditengarai berani keluar dari konsensus politik partai, yaitu Lily Wahid dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan hanya satu-dua yang berani melakukan otokritik dan bersuara kritis di ruang publik.

Perempuan anggota DPRD juga meningkat, menjadi sekitar 26 persen, tetapi menurut catatan Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, 64 persennya berasal dari keluarga elite partai.

Implementasi demokrasi sampai tahun ke-13 reformasi masih sebatas kelembagaan. Hak-hak warga direduksi menjadi angka statistik pemilih. Demokrasi bahkan diatasnamakan untuk membuat kebijakan diskriminatif, di tingkat nasional maupun daerah. Padahal, konstitusi menjamin kesetaraan hak warga negara.

Tak jelas

Titik pijak antarkementerian pun terbelah. Komentar beberapa pejabat tinggi (dan tokoh publik) bertentangan dengan asas non-diskriminatif. Bahkan bersifat condoning terhadap kelompok-kelompok yang mengalami diskriminasi terus-menerus sebagai warga negara, entah karena keyakinannya, etnis, pandangan politik, orientasi seksualnya, dan lain-lain.

Catatan Tahunan (Catahu) Ke-10 Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bertema ”Teror dan Kekerasan terhadap Perempuan: Negara Kehilangan Kendali” mencatat, lima pejabat publik dan empat tokoh dan pejabat di ranah pendidikan melanggar etika publik, mengukuhkan kebencian dan diskriminasi.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjadi ”tidak bunyi” karena fungsinya terbatas meski beberapa pejabatnya mulai menyadari ada UU yang ternyata tidak melindungi perempuan, tetapi justru membatasi, khususnya UU Pornografi.

Banyak peraturan, kebijakan, dan surat keputusan bersama kehilangan esensinya karena diinterpretasikan justru mengesahkan peraturan daerah yang diskriminatif dan menegasikan hak warga negara.

Dengan situasi seperti itu, tak terlalu mengejutkan bila jumlah kebijakan diskriminatif, menurut Catahu Ke-10 Komnas Perempuan, meningkat dari 154 (Maret 2009) menjadi 191 (awal Maret 2011), tersebar di lebih 100 kabupaten di 25 provinsi. Enam provinsi ditengarai paling gemar menerbitkan perda diskriminatif, termasuk pelarangan Ahmadiyah. Hanya ada 46 peraturan yang mendukung pelaksanaan mandat Konstitusi untuk mengakhiri kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan sampai November 2010.

Padahal, seperti ditegaskan komisioner Komnas Perempuan, Ninik Rahayu, dalam setiap konflik, apalagi yang bernuansa agama, perempuan dan anak- anak adalah korban terdepan. Merekalah yang pertama terimbas hilangnya kebebasan sebagai warga negara karena hak hidupnya dirampas.

Dengan situasi seperti ini, beranikah kita mengatakan, kondisi perempuan Indonesia mengalami kemajuan signifikan? (MARIA HARTININGSIH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com