Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hati-hati Membawa Tas Bermerek Palsu!

Kompas.com - 15/09/2011, 09:29 WIB

Kalau melihat dinamika bisnis sekarang di mana simbol dan merek dikedepankan sebagai ujung tombak untuk menjual produk, bisa dibayangkan nilai sebuah simbol, sebuah logo. Perusahaan-perusahaan modern menginvestasikan ribuan sampai jutaan dollar untuk sebuah logo, simbol—istilah bisnisnya ”branding”. Untuk barang-barang luks, investasi bagi citra yang diwujudkan lewat logo bisa mengungguli investasi untuk produknya sendiri—obyek yang diingini publik.

Suatu kali mengunjungi Paris dan berkesempatan melihat workshop Louis Vuitton, terlihat betapa rumit mereka menciptakan produk untuk menghindari peniruan. Diciptakan kode-kode khusus, termasuk variasi kunci bagi trunk mereka, yang kalau kunci hilang, hanya pabrik mereka yang bisa membetulkan variasi kunci itu. Barang harus dikirim ke workshop di Paris. Penyelesaian produk secara manual—bukan mesin—adalah cara lain lagi untuk mencapai eksklusivitas dan otentisitas. Sentuhan tangan akan menghasilkan ketidaksempurnaan yang dicapai mesin (nah, akhirnya bukankah kembali ke kebesaran manusia?).

Persoalannya, untuk tas perempuan bermerek yang harganya puluhan sampai ratusan juta rupiah, berapa orang bisa mencapainya? Bagaimana para sekretaris, guru, pegawai negeri bisa membeli tas yang harganya puluhan juta? Seperti Hermes dengan edisi bernama Birkin, yang semua wanita kelas atas mejeng di majalah dengan merelakan tangannya sekadar jadi gantungan? Tak heran, kalau kemudian muncul ”Birkin-Birkin” tiruan dengan harga murah, yang dipelesetkan sebagai ”birkinan Tajur”, ”birkinan Yogya”, dan seterusnya.

Antarkelas
Sejak lama sebenarnya antara asli dan palsu menjadi ajang kontestasi antarkelas, antara kelas atas versus kelas-kelas di bawahnya. Sekali apa yang diakui sebagai selera kelas atas ditiru oleh kelas di bawahnya, seperti diteorikan Bourdieu, mereka akan segera melakukan investasi finansial dan kultural yang baru dalam simbol-simbol untuk pembedaan. Begitu tas mahal bisa digapai banyak pihak, kelas sosial yang tadinya mengonsumsi secara eksklusif akan pindah ke perwujudan selera berkelas lain, misalnya kesenian. Seni rupa menjadi obyek konsumsi baru, seni pertunjukan menjadi klangenan. Itu contohnya.

Begitu berjalan terus-menerus. Menurut Coco Chanel, ”Being copied is the ransom of success (ditiru adalah tebusan bagi sebuah sukses).”

Catatan tambahan: kalau Anda sebagai pemimpin tidak sukses, jangankan palsunya, aslinya pun tak laku dijual dalam pemilu.

(Bre Redana)

Baca juga:
Membedakan Tas Asli dan Tas Palsu
Status Sosial dalam Kemewahan Tas
Remaja pun Berburu Chanel....
Tas Birkin: Alas Tidur Kucing
China Tutup Situs Penjual Barang Palsu

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com