Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Potensi Obat Nasional

Kompas.com - 23/10/2011, 03:27 WIB

Dr Samsuridjal Djauzi

Setiap bulan, saya berkonsultasi dengan dokter keluarga untuk memeriksakan darah tinggi dan gangguan lemak saya. Saya biasanya mendapat tiga macam obat, dua macam untuk hipertensi dan satu macam obat penurun kolesterol. Semuanya obat generik. Namun, kali ini dokter keluarga saya ke luar negeri dan penggantinya memberikan resep yang harganya mahal, sekitar sepuluh kali lipat dari harga biasa. Rupanya obat yang diresepkan adalah obat paten. Saya kembali ke dokter dan meminta obat generik. 

Saya ingin memperoleh informasi, apakah dalam dunia obat, kita sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri ataukah masih bergantung pada obat impor. Bagaimana dengan kesadaran para tenaga kesehatan kita, dokter dan ahli farmasi, untuk memajukan obat nasional kita? Adakah anjuran pemerintah untuk menggunakan obat buatan dalam negeri, sekurangnya bagi rumah sakit pemerintah?

(T di J)

Jawaban

Obat merupakan salah satu unsur penting dalam pemeliharaan kesehatan. Kemajuan dalam pengembangan obat baru berjalan cepat. Setiap tahun, puluhan obat baru dipasarkan. Pada umumnya obat baru ini merupakan hasil riset perusahaan farmasi internasional.

Untuk mengembangkan obat baru, diperlukan waktu lama dan biaya tinggi. Karena itulah, obat baru biasanya dipatenkan. Dalam masa sekitar 10 tahun, obat tersebut tak boleh diproduksi perusahaan lain sehingga perusahaan yang melakukan penelitian dapat mengembalikan biaya penelitiannya. Jika masa paten habis, terbuka kesempatan bagi perusahaan obat lain untuk memproduksinya. Produksi tersebut dapat dilakukan dengan cara produksi obat generik atau obat generik bermerek.

Bahan baku obat generik sama dengan obat paten. Hanya saja, untuk obat generik tidak dikeluarkan biaya riset dan pemasaran sehingga harganya dapat menjadi murah. Harga obat generik bisa hanya sepersepuluh daripada obat paten. Selain itu, obat ini dapat juga diproduksi dalam bentuk-bentuk generik, tetapi diberi merek. Obat ini memerlukan biaya pemasaran agar dikenal oleh petugas kesehatan dan masyarakat.

Sebenarnya harga obat generik bermerek ini biasa hanya sedikit lebih tinggi daripada obat generik. Namun, karena biaya pemasaran yang tinggi, acap kali harganya hanya sedikit lebih rendah daripada obat paten. Jika biaya pemasaran dapat diturunkan, sebenarnya masyarakat dapat menikmati obat generik bermerek ini dengan harga yang jauh lebih murah. Sebagai contoh, untuk obat lamivudin 100 mg yang digunakan sebagai obat hepatitis B kronik, harga obat patennya sekitar Rp 500.000 sebulan.

Karena kebutuhan yang banyak, sebuah perusahaan obat nasional merencanakan memproduksi obat ini dalam bentuk generik dengan harga kurang daru Rp 50.000 sebulan. Mungkin saja ada perusahaan nasional lain yang ingin membuat obat generik berlogo, katakanlah harganya sekitar Rp 100.000 sebulan. Jadi, di pasar tersedia tiga macam obat yang harganya berbeda dan terserah pada konsumen untuk menggunakan obat sesuai dengan kemampuannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com