Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Berani Mati, Tidak Berani Hidup

Kompas.com - 14/04/2017, 12:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

Jika ada negarawan yang juga pernah menyinggung bahwa demokrasi kita sudah kebablasan melebihi Amerika, saya tidak bisa tidak menyetujuinya.

Saat ini korban sudah terlalu banyak. Mulai dari korban kasus politik, teknologi informatika, hingga tentu saja: kesehatan.

Kebebasan berdagang sampai menulis buku dan masuk ranah yang bukan kompetensinya membuat negri kita seperti pasar bebas, yang semua orang boleh melakukan apa saja sekehendak hatinya atas nama hak asasi manusia. Tanpa ada yang menegur, tanpa ada yang meralat apalagi meluruskan.

Bahkan di harian ibu kota edisi akhir minggu, ada tukang masak berani-beraninya menulis judul masakan minggu itu sebagai “menu untuk kesehatan jantung” dan lain waktu ia menulis judul “menu pencegah stroke”.

Ironisnya, ia masih meracau dengan menempatkan gula pasir, saus tomat, ikan kalengan, dan teknik membuat pizza yang “lebih sehat” dan sushi dari beras rafinasi.

Ini akan kocak sekali jika dijadikan bahan bahasan kuliah akademi gizi. Begitu mudahnya orang menyasar ranah kompetensi profesi lain tanpa berkonsultasi terlebih dahulu untuk membuat tulisannya lebih bermutu, ketimbang bernada bombastis.

Lebih terhormat jika si tukang masak menyajikan resep ikan kembung pepes atau kuah asam. Atau mungkin merasa malu jadi ‘orang lokal’?

Berani mati, dan tidak berani hidup juga bisa dianggap sindiran bagi beberapa kelompok akademisi bahkan profesional.

Tanpa sadar beberapa orang yang sudah sekolah tinggi-tinggi itu melecehkan profesinya sendiri dan mematikan etika, karena tidak berani hidup jujur apalagi hidup sederhana.

Betul, hidup sederhana tidak mungkin membuat saya mampu naik pesawat dengan kelas bisnis apalagi first class, karena saya bayar sendiri – tidak mengemis dari yang mensponsori saya. Tapi, bukan berarti saya menderita.

Berani hidup membuat saya punya harga diri, bekerja keras, peluh dan usaha membuat saya tetap bugar tidak pikun, menjadikan anak saya bangga, meluhurkan para pendahulu saya, mengharumkan keilmuan yang saya junjung tinggi kebaikan dan kebenarannya.

Semoga kita masih punya banyak anak bangsa yang berani hidup. Sebab, kematian hanya layak terjadi apabila semuanya telah diselesaikan dengan baik dengan cara yang benar – itu pun demi kehidupan generasi selanjutnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com