Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Berani Mati, Tidak Berani Hidup

Kompas.com - 14/04/2017, 12:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Judul di atas saya pinjam dari ungkapan Buya Ahmad Syafii Maarif minggu lalu, yang pas sekali analoginya dengan situasi orang mengurus kesehatan dirinya belakangan ini.

Teologi kematian sebagai kajian epistemologi agama menemukan benang merahnya dengan apa yang dipahami dan dipraktikkan orang Indonesia di bidang kesehatan.

Kondisi kian kisruh dengan masukan informasi dari pelbagai jalur yang diyakini sebagai akidah hidup sehat.

Sebutlah kebablasan paham tentang susu yang muncul di salah satu media cetak ternama ibu kota, sebagai iklan terselubung salah satu perusahaan.

Dituliskan betapa bangganya seorang ibu yang seisi rumahnya mendewakan segala kehebatan susu, hingga jika bosan dengan rasa buah maka dibuatlah jus buah dengan susu kental manis.

Bayangkan jika itu dibaca dan dianut oleh awam yang pengetahuannya terbatas, yang bisa dibilang nol besar soal mengapa jus bermasalah dan penambahan gula lebih bikin perkara lagi.

Yang dibayangkan hanya rasa nikmat di lidah, dengan iming-iming hidup sehat di masa depan karena ada kata ‘buah’ dan ‘susu’.

Kesenyapan dan sunyinya orang yang berani berkata benar, serta menegakkan kearifan ilmu pengetahuan membuat publik kian kacau dan bingung.

Publik hanya berpegang atas dasar mimpi masa depan: masuk surga, hidup sehat. Lupa bahwa untuk masuk surga tidak perlu dengan bunuh diri.

Khilaf bahwa untuk hidup sehat tidak boleh mematikan sel dan membiarkannya binasa jadi kanker atau plak pembuluh darah.

Jujur saya ngeri melihat begitu banyak orang berani untuk mati. Bahkan berani mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli kepraktisan suatu makanan dan hedonisme lidah. Tapi takut untuk capek di dapur, menyusun bekal apalagi harus ke pasar tiap minggu.

Lebih konyol lagi takut untuk mendeteksi apakah faham berani matinya itu sudah berbuah penyakit, yang belum tentu membuatnya mati langsung, melainkan pada transisi hidup-mati.

Di negara-negara maju, penelitian kesehatan tidak hanya didanai oleh perusahaan teknologi pangan yang tentunya punya kepentingan di dirinya.

Cukup banyak yayasan yang peduli akan kesehatan masa depan sejak pertengahan 80an membuat penelitian tentang pemberdayaan publik, infrastruktur pemerintah yang mendukung pilihan pangan dan korelasi penyakit.

Di Indonesia, penelitian semacam ini tentunya tidak favorit dan tidak dipublikasikan luas, karena tidak ada yang peduli dan tidak menguntungkan siapa-siapa selain masyarakat. Apalagi, bicara soal tata tertib iklan pangan pabrik yang sesat.

Jika ada negarawan yang juga pernah menyinggung bahwa demokrasi kita sudah kebablasan melebihi Amerika, saya tidak bisa tidak menyetujuinya.

Saat ini korban sudah terlalu banyak. Mulai dari korban kasus politik, teknologi informatika, hingga tentu saja: kesehatan.

Kebebasan berdagang sampai menulis buku dan masuk ranah yang bukan kompetensinya membuat negri kita seperti pasar bebas, yang semua orang boleh melakukan apa saja sekehendak hatinya atas nama hak asasi manusia. Tanpa ada yang menegur, tanpa ada yang meralat apalagi meluruskan.

Bahkan di harian ibu kota edisi akhir minggu, ada tukang masak berani-beraninya menulis judul masakan minggu itu sebagai “menu untuk kesehatan jantung” dan lain waktu ia menulis judul “menu pencegah stroke”.

Ironisnya, ia masih meracau dengan menempatkan gula pasir, saus tomat, ikan kalengan, dan teknik membuat pizza yang “lebih sehat” dan sushi dari beras rafinasi.

Ini akan kocak sekali jika dijadikan bahan bahasan kuliah akademi gizi. Begitu mudahnya orang menyasar ranah kompetensi profesi lain tanpa berkonsultasi terlebih dahulu untuk membuat tulisannya lebih bermutu, ketimbang bernada bombastis.

Lebih terhormat jika si tukang masak menyajikan resep ikan kembung pepes atau kuah asam. Atau mungkin merasa malu jadi ‘orang lokal’?

Berani mati, dan tidak berani hidup juga bisa dianggap sindiran bagi beberapa kelompok akademisi bahkan profesional.

Tanpa sadar beberapa orang yang sudah sekolah tinggi-tinggi itu melecehkan profesinya sendiri dan mematikan etika, karena tidak berani hidup jujur apalagi hidup sederhana.

Betul, hidup sederhana tidak mungkin membuat saya mampu naik pesawat dengan kelas bisnis apalagi first class, karena saya bayar sendiri – tidak mengemis dari yang mensponsori saya. Tapi, bukan berarti saya menderita.

Berani hidup membuat saya punya harga diri, bekerja keras, peluh dan usaha membuat saya tetap bugar tidak pikun, menjadikan anak saya bangga, meluhurkan para pendahulu saya, mengharumkan keilmuan yang saya junjung tinggi kebaikan dan kebenarannya.

Semoga kita masih punya banyak anak bangsa yang berani hidup. Sebab, kematian hanya layak terjadi apabila semuanya telah diselesaikan dengan baik dengan cara yang benar – itu pun demi kehidupan generasi selanjutnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com