KOMPAS.com - Orang yang menganggap dirinya perfeksionis biasanya keras pada diri mereka sendiri ketika hal-hal tidak berjalan sesuai keinginan mereka. Sifat ini memang diperlukan pada beberapa hal, tapi jika standar kita terlalu tinggi lama kelamaan kita justru jadi depresi.
Menurut Jackie Chan, seorang psikolog dari The Hong Kong Psychological Counselling Centre, perfeksionisme adalah sikap atau keyakinan bahwa tidak boleh ada kekurangan dalam pekerjaan atau kemampuan seseorang.
Biasanya si perfeksionis menetapkan standar yang tinggi - kadang tidak realistis - bagi dirinya sendiri, dan menganggap diri gagal ketika tidak dapat memenuhi standar tersebut.
Seringkali pencarian kesempurnaan dimulai sejak usia muda , terutama ketika mereka memiliki orangtua atau figur otoritas lain seperti guru, yang menetapkan kesempurnaan sebagai standar yang diinginkan.
Kesalahan apa pun yang dibuat biasanya akan berbuah kritik, teriakan, bullying, atau bahkan hukuman fisik. Akibatnya mereka tumbuh dengan hasrat untuk menyenangkan dan menerima pujian dari orang lain. Mereka juga percaya bahwa harga diri mereka terikat dengan prestasi mereka.
Media, masyarakat luas dan keyakinan budaya juga dapat berkontribusi pada keinginan untuk menjadi "sempurna".
Perfeksionisme juga dicirikan oleh evaluasi diri yang terlalu kritis dan khawatir tentang penilaian dan kritik orang lain.
Meskipun tidak ada yang salah dengan mengejar standar yang tinggi, menjadi teliti, atau menginginkan semua hal berjalan dengan cara tertentu, namun sikap ini sebenarnya punya efek negatif.
Efek paling nyata dari sifat tersebut berupa tindakan menyakiti diri sendiri, sindrom kelelahan kronis, gangguan obsesif-kompulsif, insomnia, gangguan stres pasca-trauma, gangguan kecemasan sosial, kecemasan dan depresi.
Riset terbaru dari Australian Catholic University juga menemukan bahwa sifat perfeksionis menyebabkan depresi.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.