Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/04/2018, 13:30 WIB
Nabilla Tashandra,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

SEMARANG, KOMPAS.com - "Untuk menjadi sehat, you are what you eat. Mau sehat. Perhatikan apa yang dimakan."

Penggalan kalimat itu disampaikan Pakar Gizi dan Keamanan Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, PhD.

Ahmad menyampaikan itu pada acara Jelajah Gizi 2018, di Semarang, Jumat (20/4/2018) kemarin.

Saat itu, Ahmad tengah memaparkan soal sistem pangan berkelanjutan.

Menurut dia, dalam penerapan ide itu, harus dipastikan seluruh proses sumber pangan dilakukan dengan baik.

Dengan demikian, dampak yang muncul akan baik pula bagi kesehatan dan lingkungan.

Ia menambahkan, setiap orang sebetulnya memiliki "jatah" umur sekitar 120 tahun. Namun pada kenyataannya, tak banyak yang bisa mencapai usia 100 tahun.

"Padahal orang-orang di Okinawa (Jepang), misalnya, banyak yang sampai ratusan tahun karena lingkungan sehat dan makanan terjaga," tutur dia.

Baca juga: Ketika Hasil Panen Sekadar Komoditi, Bukan untuk Konsumsi Demi Gizi

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), memprediksi dunia perlu memberikan makanan secara berkelanjutan pada 9,8 juta jiwa pada tahun 2050.

Namun, diperkirakan pula akan ada 870 juta orang kekurangan gizi di masa itu.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai konsumen?

Beberapa kebiasaan dalam mengkonsumsi makanan bisa memberi kontribusi bagi sistem pangan berkelanjutan.

Dari segi kesehatan, misalnya, adalah memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh.

Masyarakat juga diharapkan telah teredukasi untuk terbiasa membaca label pangan. Di Indonesia, misalnya produk-produk pangan dengan logo Organik Indonesia.

"Logo hijau-putih, sudah pasti sustainable (food). Ada sertifikat SNI," kata Ahmad.

Tak hanya itu, diharapkan konsumen juga mampu memilih produk pangan dengan bahan baku lokal sehingga petani ikut makmur.

Baca juga: Agar Sehat, Tubuh Jangan Sampai Kekurangan Serat Pangan

Dari segi lingkungan, bisa dimulai kebiasaan kecil dengan tidak menyisakan makanan, meremas air minum botol dalam kemasan, hingga memperhatikan limbah olahan konsumsi makanan.

"Laporan WHO (organisasi kesehatan dunia), saat orang kekurangan makan, pada saat yang sama ada sekelompok masyarakat yang makan tanpa perhitungan," tuturnya.

Hal itu akan mengakibatkan kerugian dari makanan yang terbuang.

Di saat yang sama, praktik itu pun memicu perubahan iklim dan pemanasan global akibat limbah sisa makanan.

"Money is yours but resources belong to the society (uang memang milik kita, tapi sumber daya merupakan milik semua orang," kata Ahmad.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com