Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/10/2018, 16:00 WIB
Ariska Puspita Anggraini,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.com - Batik bukan sekadar gurasan motif di atas kain. Bicara batik adalah bicara kreativitas dan perasaan mendalam pengrajinnya.

Hal semacam itu juga dirasakan Naomi Kawasaki, warga negara Jepang yang jatuh cinta dengan batik.

Naomi merasa ada unsur meditatif dalam proses membatik karena pikiran, perasaan dan jiwa harus benar-benar menyatu.

"Bisa dibilang seperti meditasi karena saat membatik pikiran tangan dan jiwa itu harus menyatu," ungkapnya.

Semua kegiatan yang berkaitan dengan baik, bagi Naomi adalah sesuatu yang suci. Oleh karena itulah, ia merasa keberatan untuk diambil fotonya ketika sedang membatik atau hasil kainnya.

"Bagi saya pribadi, semua hal yang berkaitan dengan batik, meski bisa jadi objek penelitian, itu hal yang suci. Jadi, selama membatik saya sama sekali tak memfotonya," ucapnya.

Sebagai pemula, hasil kain batik karya Naomi terbilang indah dan rapi. Selama 1,5 tahun belajar di rumah maestro batik Go Tik Swan, ia berhasil membuat kain batik. Sayangnya ia tak bersedia jika kain tersebut difoto.

Di rumah batik Go Tik Swan, satu kain rata-rata paling cepat dibuat sekitar 6 bulan. Malah, ada kain yang baru selesai dibuat setelah 5,5 tahun.

Pikiran

Hasil goresan batik yang dibuat, menurut Naomi, setiap hari berbeda-beda tergantung kondisi hati dan pikiran yang terus berganti.

"Kalau kita lihat sebagai karya seni, pikiran dan perasaan itu berperan penting saat membatik. Lain halnya kalau batik yang dibuat hanya untuk barang yang dijual," ucapnya.

Terkadang, tangan untuk memegang canting pun bagi Naomi tak bisa digerakan semaunya.

"Itu keunikannya. Padahal, itu 'kan tangan kita sendiri. Tapi, tak bisa digerakan seperti keinginan kita saat membatik," tambahnya.

Batik Go Tik SwanAriska Anggraini Batik Go Tik Swan

Cara memegang canting, menurut Naomi juga sangat sulit karena ukuran telapak tangan dan jari manusia juga berbeda. Jadi, cara memegang canting setiap orang juga berbeda-beda.

Selama 1,5 tahun ia belajar membatik di rumah Go Tik Swan, Naomi mengaku hanya mempelajari teknik memegang canting dengan tepat.

Baca juga: Go Tik Swan, Menyatukan Indonesia Lewat Batik

Namun, waktu tersebut baginya tak cukup.

"Untuk hanya memberi satu titik saja juga butuh ketepatan. Misalnya, saat lilin yang dipakai terlalu panas, nanti lilin akan meluber kemana-kemana. Kalau terlalu dingin, nanti nggak bisa keluar. Bahkan, untuk membuat satu garis lurus saja itu juga sulitnya minta ampun," ujarnya.

Semua kesulitan tersebut bagi Naomi adalah keunikan tersendiri dalam membatik. Inilah yang membuatnya semakin tertarik

"Yang membuat saya tertarik datang ke Indonesia, salah satunya adalah batik. Saya merasa beruntung bisa langsung belajar membatik," ucapnya dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar.

Batik di mata masyarakat

Naomi bercerita di negari Sakura, tanah kelahirannya, batik telah lama terkenal. Bahkan, masyarakat Jepang juga mendirikan semacam perkumpulan yang mewadahi para pecinta batik.

"Kalo di Jepang itu ada banyak kelompok pecinta batik sekaligus komunitas pecinta membatik, yang gurunya juga orang Jepang," ungkap Naomi.

Wanita berambut panjang ini juga bercerita jika yang bergabung dengan kelompok tersebut berasal dari berbagai lapisan masyarakat, bukan hanya akademisi atau peneliti saja.

"Bahkan, ibu rumah tangga juga ikut. Mereka juga belajar membatik di kelompok itu," ungkap Naomi.

Ia mengaku mengenal batik berkat salah satu gurunya yang juga menjadi kolektor batik. Berkat sang guru, Naomi pun tertarik untuk mendalami dan meneliti tentang batik hingga ke Indonesia.

Sayangnya, keindahan dan nilai estetika tinggi dalam batik nampaknya tak begitu menarik minat generasi muda di Indonesia. Ini terbukti dari kurangnya kaum muda yang berminat untuk menjadi pembatik.

"Iya, anak-anak saya nggak ada yang jadi pembatik. Mereka enggak minat," ucap Hadi salah satu pembatik berusia 77 tahun.

Hal ini juga diakui oleh KRRA. H. Hardjosuwarno pengrajin batik dan ahli waris Go Tik Swan. "Ini yang membuat sedih, generasi saat ini gak ada yang mau jadi pembatik. Lihat saja di sini para pembatiknya sudah berusia lanjut," ucapnya.

Menjadi karyawan kantoran, bekerja di pabrik atau bahkan menjadi TKI, menurut Suwarno, lebih menarik minat generasi masa kini.

"Pembatik itu memang dipandang sebelah mata karena gajinya sedikit. Padahal, yah, alhamdulilah, bisa mencukupi sehari-hari. Tuhan maha adil," kata Martun, salah satu pembatik.

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com