JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana peluncuran program "Sekolah Ibu" yang digagas Pemerintah Kabupaten Bandung Barat menuai sejumlah pro-kontra.
Pada awalnya Wakil Bupati Bandung Barat Hengky Kurniawan mengatakan program ini dibuat sebagai upaya menurunkan angka perceraian di daerah tersebut.
Substansi dari Sekolah Ibu tersebut kemudian dipertanyakan oleh sejumlah pihak, termasuk Komnas Perempuan.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni menilai Sekolah Ibu tidak tepat jika diadakan untuk merespons angka perceraian yang tinggi.
Sebab, pernikahan merupakan tanggung jawab bersama suami dan istri.
"Jadi start-nya bukan dipicu tingginya angka perceraian, kemudian perempuan (diharapkan) bisa berpikir lebih panjang kemudian bisa mereda emosi. Itu enggak pas," kata Budi saat dihubungi KOMPAS Lifestyle, Senin (31/12/2018).
Angka perempuan menggugat cerai menurutnya memang cenderung meningkat. Namun, kondisi tersebut tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang sederhana dan perlu menjadi tanggung jawab semua pihak.
Perempuan pun tidak bisa dianggap salah jika menggugat cerai karena terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sehingga, yang diperlukan sebetulnya adalah agar semua pihak mampu memahami bahwa perempuan bukan objek kekerasan.
"Ini tanggung jawab kita semua termasuk bagaimana pelaku dan calon pelaku paham bahwa perempuan bukan objek kekerasan. Kekerasan psikis, sosial, ekonomi, seksual. Mari kita hilangkan dengan cara mensetarakan perempuan ini," tuturnya.
Baca juga: Sebelum Gagas Sekolah Ibu, Pemkab Bandung Barat Disarankan Dalami Penyebab Perceraian
Budi mengaku belum membaca utuh mengenai rencana program tersebut. Namun, ia memandang program tersebut perlu dikritisi secara substansi.
Selain itu, diperlukan asesmen mengenai banyak hal. Seperti waktu pelaksanaan, prosesnya, tahap memulainya, hingga siapa yang akan dilibatkan untuk berbagi di sekolah tersebut.
Menurutnya, Sekolah Ibu boleh saja diadakan jika tujuannya untuk memberdayakan perempuan atau membuat perempuan bisa lebih kritis bersikap terhadap hal-hal yang tidak tepat untuk perempuan.
Meskipun, forum pemberdayaan perempuan sendiri sebetulnya sudah ada saat ini. Contohnya, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang melibatkan hampir semua perempuan yang berstatus ibu rumah tangga.
"Kenapa tidak dioptimalkan saja daripada membentuk wadah yang baru? Dibuat sesuatu yang lebih fair yang betul-betul memberdayakan perempuan," kata Budi.