Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Literasi dan Edukasi: Meminimalkan Medikalisasi

Kompas.com - 06/07/2019, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Tidak jarang pula kita dengar kisah yang tak kalah memilukannya, kali ini kebalikan dari berat badan berlebih: anak dengan tulang berbalut kulit, terbaring tanpa daya, kejang kaku setiap saat. Sekali lagi, orangtua mengharap belas kasihan pemerintah dan semua orang yang menjenguk untuk biaya berobat.

Padahal, kondisi anak ini yang dikenal dengan istilah ‘cerebral palsy’ adalah gejala sisa yang tidak bisa kembali seperti sedia kala akibat infeksi virus pada otak, encephalitis.

Orangtua masih mengandaikan ada obatnya, agar si anak suatu saat bisa berlari-lari ke sekolah seperti teman-teman sebaya.

Uang semakin habis, karena semakin banyak orang menawarkan pil ajaib dan tongkat mujarab.

Saat dana benar-benar ludes dan kebutuhan hidup semakin mencekik, kondisi mengenaskan si anak tak jarang berujung sebagai manipulasi menghimpun sumbangan atas nama kasihan.

Bukan untuk rehabilitasi si anak lagi, melainkan untuk kelangsungan hidup orangtua dan anak-anaknya yang lain.

Baca juga: Pola Asuh: Keterampilan, Komitmen, dan Jadi “Kulino”

Memang tidak mudah untuk menjelaskan bahasa kesehatan yang njlimet itu ke awam. Bukan pekerjaan ringan pula, untuk menerangkan bahwa radang otak yang sudah menjadi cacat otak menetap itu tidak bisa diapa-apakan dan obat yang diminum bukanlah untuk kesembuhan, melainkan agar kejangnya tidak bertambah parah dan fatal. Itu saja.

Pun tidak banyak ahli gizi yang sabar bisa menjelaskan tentang kebutuhan kuantitas dan kualitas makanan.

Akhirnya hanya muncul daftar bahan makanan mana yang boleh dan mana yang tidak. Pasien dituntut sebatas patuh, bukan paham.

Di sisi lain, pasien yang tidak puas dengan penjelasan setengah-setengah itu, akhirnya mencaritahu sendiri.

Laman internet bernama Google menjadi ensiklopedia semua urusan di zaman seperti sekarang. Dan dalam waktu singkat, pasien merasa lebih pintar dari dokter yang kurang pintar bicara.

Saat konfrontasi di kamar praktik terjadi, apabila dokter semakin gagap dan pasien kian garang, akhirnya tujuan konsultasi malah gagal.

Baca juga: Ketika Manusia Tak Bisa Melihat Versi Terbaik dari Dirinya

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com