Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Literasi dan Edukasi: Meminimalkan Medikalisasi

Kompas.com - 06/07/2019, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Sang pasien lebih memilih ‘ahli lain’ yang saat ini buka lapak dengan istilah ‘terapi’. Entah terapi apa.

Dari yang berjualan ramuan sapu jagat, menggunakan teknologi listrik hingga laser, sampai yang begitu ‘natural’nya cuma mengandalkan air dan tepuk-tepuk ‘titik akupunktur’. Testimoni melimpah bak kesaksian mukjizat.

Pertanyaan menarik: sebetulnya, siapakah yang paling bertanggung jawab untuk masalah edukasi dan literasi publik ini? Apakah memang sengaja dibiarkan agar masing-masing mencari tahu sendiri, seperti mendapat pencerahan pribadi? Atau memang ada rencana terstruktur, sistemik dan masif supaya mereka yang berjualan atas nama ketidaktahuan publik akan terus aman menuai untung?

Hingga kini, salah satu contoh, masih saja terdengar penzaliman sayur hijau. Sayur yang Tuhan ciptakan itu oleh banyak dokter yang tidak paham gizi menjadi haram bagi penderita gagal ginjal.

Padahal, yang namanya sayur dengan kalium tinggi hanya beberapa saja – sebutlah yang berwarna hijau gelap, seperti brokoli, daun singkong, kailan, daun pepaya, dan kale.

Sementara di luar sana ada ratusan sayur aman rendah kalium, mulai dari selada, kembang kol, tauge, daun seledri, terong, labu, tomat, ketimun, kol, sawi putih, dan masih banyak lagi.

Baca juga: Teknologi Bisa Dipercepat, Sementara Kehidupan Harus Tetap Taat Kodrat

Betapa kasihannya rakyat kita, dengan bumi yang begini kaya, akhirnya terpaksa makan yang justru badannya tidak butuh.

Konspirasi yang tidak sehat antara tenaga kesehatan yang minim pemahaman gizi dengan teknokrat industri pangan menjadikan manusia terasing dengan dirinya dan alam kodratnya.

Petani mendapat dukungan dari pelaku modal selama hasil panennya bisa dibeli oleh pemilik industri – bahkan jauh sebelum panen sudah diiming-imingi keuntungan finansial.

Hasil panen bukannya dimakan langsung, melainkan lewat mesin pabrik dijadikan barang baru bernama pangan kemasan, dengan jargon lebih murah, lebih aman bebas kuman dan ‘menolong kebutuhan pangan umat manusia’.

Petani menghasilkan singkong, tapi singkongnya dibeli industri (yang berdalih singkong tidak termakan) – begitu uang di tangan, sang petani merasa naik kasta bisa beli burger dan keripik singkong kemasan buat cemilan.

Ia pun makin bangga berfoto ria menunjukkan singkongnya sekarang ‘naik kelas’ bernama cassava chips, dengan kemasan warna-warni.

Pasti ada yang salah dengan istilah food waste, alias pangan bersisa. Bisa jadi karena rakyatnya tidak makan.

Mengapa? Tidak punya edukasi dan literasi pangan. Bahwa mereka harus bangga dengan apa yang mereka tanam dengan keringat dan kesabaran.

Baca juga: Generasi Milenial Perlu Kenal Bedanya Makan “Beneran” dan Camilan

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com