Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Ketika Tips Kesehatan Berujung Pembodohan

Kompas.com - 30/09/2019, 17:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Tulisan ini dibuat setelah saya terhenyak mendengar ibu saya sendiri bertanya,”Bener enggak sih makan nanas itu bagus buat asam urat?”

Dari sekian banyak berita, informasi dan tayangan yang bisa dibuka melalui ponsel, rupanya tautan-tautan seputar jurus-jurus sehat menjadi topik terhangat sepanjang masa.

Situasi ekonomi dan politik boleh berubah, tapi tidak ada satu orang pun yang mau berubah dari sehat menjadi sakit.

Apalagi yang sudah sakit – bukan biaya berobat saja yang mahal, antriannya pun tak kepalang tanggung panjangnya.

Salah-salah orang bisa meninggal lebih dahulu sebelum antrian berobatnya datang, seperti pasien saya yang harus menunggu jadwal operasi hingga tiga bulan ke depan.

Bahkan tidak jarang saking kesalnya berobat tak kunjung sembuh, banyak orang akhirnya memilih ‘belajar hidup sehat’ melalui mesin pencari informasi terhandal abad ini: Google. Sering saya plesetkan sebagai “fakultas kedokteran internasional”.

Baca juga: Mimpi Sehat Gaya Teknokrat dan Birokrat, Mungkinkah?

Mau yang lebih visual atraktif? Youtube. Secara detil ditayangkan apapun yang sekiranya awam memerlukan tahapan-tahapan praktiknya. Sekaligus tampak ‘lebih menjual’, bagi yang sedang berjualan pil ajaib dan ramuan mujarab.

Seakan tak mau ketinggalan, banyak kanal berita media online ikut menayangkan artikel-artikel sensasional yang dicomot dari berbagai terjemahan media lain.

Tak peduli mau isinya saintifik sungguhan atau yang pseudo-sains, alias pengetahuan atau tepatnya kepercayaan akan praktik-praktik tertentu yang tidak memiliki dasar metodologi ilmiah sesungguhnya, tapi dijabarkan seakan-akan masuk akal, ilmiah, padahal sifatnya semu.

Lebih tepatnya, paham-paham yang dianut tidak memenuhi persyaratan metode ilmiah yang dapat diuji dan seringkali berbenturan dengan kesepakatan ilmiah yang umum.

Para penganut pseudosains ini dikenal galak dan gigih mempertahankan keyakinannya yang tak tergoyahkan, bahkan menuding kelompok saintifik yang sesungguhnya merupakan konspirasi yang ingin menghancurkan kebenaran.

Baca juga: Kemopreventif, Kemoterapi, Kemopaliatif: Mana yang Tepat?

Pseudosains dalam psikologi banyak dikenal antara lain soal bentuk kuku atau wajah yang dihubung-hubungkan dengan kepribadian seseorang, atau kaitan antara tanggal lahir, numerologi dengan perjalanan nasib.

Sebetulnya, pseudosains paling seru justru ada di ranah kesehatan. Mulai dari berbagai kiat diet menurut teori asam basa, golongan darah, hingga iridologi: bagaimana iris mata manusia bisa membuka rahasia semua data kesehatan orang yang bersangkutan.

Para pengikutnya, bahkan pendiri organisasi yang menyatakan diri ‘praktisi’ mati-matian berusaha membuktikan kebenaran dengan caranya masing-masing, menampik semua metodologi ilmiah, apalagi hierarki penelitian yang pada umumnya diberlakukan untuk pembuktian sains.

Namun amat disayangkan, tidak banyak jurnalis memahami perbedaan mana ilmu pengetahuan sebenarnya yang bisa dipertanggungjawabkan, dan mana pengetahuan semu yang sebetulnya jika disebarluaskan malah bisa membawa kekisruhan ketimbang manfaat.

Salah-salah mereka semakin menyebarkan ‘kepercayaan baru’ di masyarakat – dan mereduksi, mengecilkan makna kehidupan dan kesehatan yang hakiki.

Baca juga: Literasi dan Edukasi: Meminimalkan Medikalisasi

 

Dengan kekacauan ini, tidak sedikit orang-orang tertarik mempelajari pseudosains secara instan dan dengan kemampuan ‘marketing’ yang handal, mereka lebih sensasional menarik massa sekaligus menuai keuntungan.

Menyitir banyak masalah kesehatan yang tengah terjadi dan kian mencemaskan, mulai dari anak dengan gangguan perilaku hingga diabetes atau kanker.

Mereka yang sama sekali tidak punya pendidikan formal kesehatan tahu-tahu kursus entah di mana dan tiba-tiba memasang iklan menjadi ‘terapis’ atau ‘praktisi hidup sehat’.

Tidak mau disebut dukun, justru mereka membagikan bacaan-bacaan pseudosains – yang jika perlu dalam bahasa Inggris – dan memberi banyak ‘tips kesehatan’ yang diberi embel-embel: sangat alamiah, tidak punya efek samping.

Bahkan, jika perlu malah menjelek-jelekkan obat dokter sekalian.

Baca juga: Kasihan, Orang Sakit Bebannya Selangit

Satu hal yang mengganggu, beberapa ilmu kesehatan yang sahih di luar kedokteran seperti akupunktur yang telah diakui oleh organisasi kesehatan dunia, WHO, justru akhirnya bisa jatuh ke dalam pseudosains jika tidak dipahami secara utuh.

Itu sebabnya jualan laris manis akupunktur kecantikan, pelangsingan, marak di mana-mana.

Bahkan, ada seorang gadis khusus minta ke akupunkturisnya ‘jarum tindik’ yang ditinggal di daun telinga, karena ia dengar dari temannya titik itu bisa ‘menekan nafsu makan’.

Tiga ratus enam puluh lima titik akupunktur, 12 meridian ditambah sekian banyak meridian istimewa yang dipelajari dalam ilmu akupunktur dan pengobatan tradisional Tiongkok, serta tata cara pemeriksaan khusus, mustahil dipahami begitu saja atau lebih sadis lagi direduksi seperti tips-tips yang beredar di dunia maya.

Berapa banyak orang menertawakan akupunktur, saat dunia maya dihebohkan dengan jurus sepuluh ujung jari ditusuk jarum pada saat orang terkena stroke.

‘Pemerkosaan’ ilmu dan penghinaan besar-besaran keluhuran pengetahuan merupakan hal yang amat tidak dapat dimaafkan, jika hanya karena satu-dua oknum mengajarkan ‘teknik praktis’ mengatasi masalah kesehatan tanpa mendalami latar belakang duduk perkara tubuh yang menderita.

Baca juga: Membiasakan yang Tidak Biasa

 

Kekonyolan makin diperparah saat orang-orang yang tidak punya kompetensi, mulai menambah bumbu penistaan dengan berkomentar miring.

Ibarat tukang jahit mengomentari teknik membuat kari ayam yang benar.

Tidak kalah hebohnya di dunia nutrisi. Lahan subur menuai untung hanya dengan menyewa satu-dua selebrita dan jadilah serbuk ajaib, dibilang minuman bernutrisi mencegah penuaan dini.

Atau jika ada jurnalis iseng, membuka laman-laman kesehatan media online negri seberang, dan tak sengaja membaca rempah-rempah anti diabetes atau rematik, maka saat diketik dalam bahasa Indonesia dan diviralkan, muncullah kepercayaan baru tentang ilmu pengobatan. Yang paling sering ‘dicaplok’ biasanya aliran pengobatan India, Ayurveda.

Tanpa tata laksana yang jelas seperti ilmu aslinya, terbayang berapa banyak orang penderita diabetes tiba-tiba pindah haluan mengobati dirinya sendiri dengan bubuk kayu manis. Sementara, pola makannya masih acakadul.

Baca juga: Teknologi: Kemajuan, Kebutuhan, Ketergantungan atau Versi Baru Penjajahan?

Tren seperti ini menjadi masalah besar di Indonesia, saat literasi masih amat minim sementara pencari untung bukan main girasnya beriklan.

Di sisi lain, kecanggihan Google membuat orang yang pernah mengetik kata kunci penyakit tertentu akan membombardir ponselnya dengan berbagai ‘tambahan ilmu’ seputar kata kunci tersebut.

Sehingga, tidak heranlah orang yang pernah ketik dua kata ‘asam urat’ di ponselnya tahu-tahu selama seminggu berturut-turut semua informasi seputar asam urat berhamburan muncul: mulai dari tips makanan (dari yang bisa dianggap benar hingga yang ngawur sama sekali), tips olahraganya, tips jamunya, hingga ikon Youtube yang ketika diputar menayangkan dukun canggih menawarkan keampuhan teknik ‘terapi’nya.

Itu sebabnya, saya paling tidak bisa melayani keinginan jurnalis atau reporter yang membutuhkan ‘jawaban singkat dan tips praktis’ soal kesehatan apalagi makanan.

Karena tubuh manusia jauh lebih kompleks dari yang mereka pikirkan, karena kesehatan lebih mahal dari bualan yang kian memperparah pembodohan.

Baca juga: Teknologi Bisa Dipercepat, Sementara Kehidupan Harus Tetap Taat Kodrat

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com