Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Kemopreventif, Kemoterapi, Kemopaliatif: Mana yang Tepat?

Kompas.com - 01/09/2019, 10:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Di era yang serba cepat “sebar-informasi” seperti sekarang, untuk meraba-rasakan apa yang sedang bergulir di masyarakat saya lebih suka membaca macam-macam komentar publik dari suatu berita atau ‘top news’ yang hangat diperbincangkan.

Dari situ bukan hanya saya bisa menangkap jenjang nalar publik, tapi juga berbagai emosi yang tertuang: mulai dari rasa kecewa, marah, takut, hingga syak wasangka.

Sayangnya, media tidak mengulik lebih dalam – apalagi menjadikannya sebagai ajang edukatif yang bisa meningkatkan literasi dan pemahaman, ketimbang menuai ‘rating’.

Akhirnya semua riuh rendah hanya silih berganti, mengambang tak jelas, tinggal topik apa yang lebih seru mengisi.

Masih soal polemik temuan ramuan pembasmi kanker – penyakit tak kenal ampun yang merenggut nyawa menyisakan sengsara.

Baca juga: Teknologi: Kemajuan, Kebutuhan, Ketergantungan atau Versi Baru Penjajahan?

Ngeri sekali melihat tudingan publik bahwa temuan-temuan ‘herbal’ sengaja dibiarkan terlantar, karena supremasi farmasi dan ilmu kedokteran yang pantang digoyang.

Beberapa petinggi berusaha untuk menjelaskan, bahwa sebelum gegabah menyebut akar batang daun dan getah dianggap sebagai obat kanker, perlu adanya tahapan-tahapan penelitian berjenjang untuk bisa menegakkan klaim ‘ini obatnya’.

Bahkan, percobaan pada hewan harus ditingkatkan pada populasi sampel manusia, demi menemukan dosis efektif, dosis aman, dosis toksik hingga lethal – alias berujung mematikan.

Jangan dikira obat-obatan kemoterapi yang saat ini dikenal awam sebagai ‘obat kimia’ tidak melalui proses panjang itu. Bahkan tantangannya lebih berat.

Seperti kita bicara soal bawang merah dan air kelapa hijau yang katanya ‘obat turun panas’. Nah, jika demamnya hanya karena flu, tanpa bawang merah dan air kelapa pun suhu tubuh akan turun sendiri, jika virusnya pergi karena daya tahan tubuh dijaga tetap baik – dengan istirahat cukup dan memilih makanan sehat.

Tapi bayangkan jika demamnya bukan karena flu, tapi infeksi tifus misalnya. Mana bisa bergantung dengan bawang merah dan air kelapa hijau?

Yang ada tahu-tahu penderitanya mengigau dan usus halusnya pecah dengan risiko infeksi ke seluruh tubuh menyebar melalui darah, disebut sepsis dan berakibat kematian.

Baca juga: Literasi dan Edukasi: Meminimalkan Medikalisasi

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com