Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

MPASI ala Generasi Dapur Ngawur

Kompas.com - 29/03/2021, 07:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Yang ada setiap kali si bayi menangis tak mau makan, ibunya marah dan memberi apa pun asal anaknya diam dan mau mengunyah. Padahal, makhluk tak berdaya ini sedang melawan nyerinya gusi sedang tumbuh gigi.

Menyalahkan makanan tidak enak, membuat orangtua mengasumsikan selera bayi seperti diri sendiri.

Alhasil di usia dini anak Indonesia sudah jago mengenal ‘aneka rasa’. Memperkaya wawasan? Nanti dulu. Rasa itu datang dari mana.

Para pakar setuju bahwa anak bukanlah dewasa mini. Terlalu sibuk dengan rasa asesori, sibuk meracik bumbu aromatik - ibu akhirnya kerap lupa mana yang jadi esensi.

Padahal sekian puluh tahun yang lalu, ibu dibesarkan tanpa stunting hanya dengan bubur nasi ulek saring berisi hati ayam, wortel, dan bayam. Plus kerokan pisang atau pepaya.

Baca juga: Cegah Stunting, Protein Hewani Harus Ada dalam MPASI

Di masa sekarang, ibu baru tidak tahu bahwa pisang yang belum matang betul membuat anaknya sembelit, sementara pisang dengan kulit yang sudah berbintik coklat menandakan kematangan sempurna – justru menjadi buah ampuh untuk rutinitas buang air besar.

Kian banyak informasi bertubi-tubi bagai peluru nyasar menghujani banyak keluarga muda yang pengetahuannya semakin ambyar. Ilmu peras kaldu hingga aturan beras, ayam, sayur harus organik membuat saya ngeri luar biasa.

Belum lagi ajaran tanpa landasan soal bayi diberi telur kuning mentah – sebagai bagian dari ‘kesehatan’. Faktanya, bayi bisa terserang Salmonella. Selain itu, telur mentah memang tidak bisa dicerna manusia.

Saat memberi makan anak adalah momen keluarga muda mengevaluasi meja makannya. Sebab anak meniru, orangtua jadi guru. Di ulang tahunnya yang pertama, ia mulai berpindah dari rasa ayam saja menjadi opor ayam.

Bisa dibayangkan, jika orangtuanya tidak bermodalkan keterampilan hidup, lalu bagaimana gaya hidupnya?

Memasak, bukan keahlian. Sama seperti ibu yang berhasil menyusui anaknya eksklusif 6 bulan bahkan diteruskan hingga 2 tahun atau lebih.

Semuanya adalah tentang menjadi terampil – dilakukan menjadi bisa dan biasa. Yang awalnya dimulai dengan terpaksa dan dipaksa (oleh situasi).

Keterampilan memasak dimulai dari memilih bahan, meraciknya, dan mengolahnya. Punya bahan bagus, salah mengolah, semuanya jadi salah.

Contoh paling nyata adalah tentang ikan. Semua ikan laut kaya akan omega3, yang justru rusak bahkan menjadi trans fat yang merugikan kesehatan apabila diolah dengan cara menggoreng.

Baca juga: MPASI Rumahan Tidak Sama dengan MPASI Murahan

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com