Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Nusantara dalam Sebelanga Minyak Kelapa

Kompas.com - 14/02/2022, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Bagi generasi ‘gas-pol’, blondo adalah representasi kampung yang tidak nge-tren. Bahkan, menunggui santan dimasak menjadi minyak kelapa selama tiga jam dianggap menghabiskan waktu. Itu pun masih harus disaring lagi, dipanaskan hingga minyak lebih murni dan air menguap.

Betapa menyedihkannya saat era tunggang langgang begini, manusia ngebut mengejar hasil, mengambil jalan pintas mencapai target. Apa pun caranya.

Ilmu pun menjadi lebih tereduksi menurut taksonomi yang tidak lagi melihat hidup sebagai kesatuan komunitas holistik, melainkan individualisme sempit dengan dalil spesialistik.

Baca juga: 3 Pilihan Cara Membuat Minyak Kelapa Sendiri

Tidak banyak sekolah yang mengajarkan kearifan cendekiawan, yang mampu melihat masa depan dengan kaca mata ilmuwan.

Yang saya amat cemaskan, satu per satu wajah anak bangsa berganti rupa. Seperti kacang lupa kulit. Amnesia akan sejarah dan asal usul darah, kekayaan bumi pertiwi cuma dimanipulasi sebagai produk industri. Dan kita pegawainya. Yang membantu merusak alam dan diam-diam dijajah berkat kemiskinan literasi dan minimnya edukasi.

Pendidikan yang mestinya membuat kita menjadi kritis, bukan dibungkam demi kelancaran karier dan sejumlah uang.

Sebelanga minyak kelapa mengajarkan saya banyak hal, bahwa kita dipersatukan oleh budaya yang sama, cara masak yang sama, cara menikmati masa kecil yang sama.

Saat seisi rumah harum ketika nenek membuat pepes blondo berdaun pisang. Saat anak-anak antusias menunggu ampas minyak boleh dijadikan rebutan camilan. Saat minyak blondo dijadikan obat ruam kulit yang paling ampuh, membuat rambut hitam lebat dan baluran ketika tubuh penat.

Terlalu menyakitkan bagi bangsa ini jika itu semua diganti dengan aneka salep steroid, formula penumbuh rambut, dan ‘minuman detoks’ bergaya retro.

Terlalu menyedihkan jika interaksi keluarga berubah menjadi keterasingan individu, yang sibuk dengan gawai masing-masing.

Bahkan saat nenek sudah wafat, cucu mencari resep masakan dengan aplikasi google. Itu pun sang cucu masih marah-marah, karena butuh resep praktis nan cepat yang bisa dimasak dengan timbangan akurat di atas kompor induksi bukan tungku berasap bikin mata iritasi.

Di dapur sempit semua mesti dimasak dalam hitungan menit. Tidak sama dengan dapur ruang terbuka sang nenek.

Saya masih berharap, desa-desa kita bukan hanya saksi bisu menyimpan cerita, dipaksakan menjadi pemukiman modern atas nama ‘kemajuan’ yang memiskinkan.

Dan suatu hari akan ada yang menyesali, kenapa kekayaan kita hanya seperti apa yang nampak di permukaan ibarat perhiasan sepuhan. Sementara, jauh di dalam sana penuh kerapuhan.

Keturunan kita cuma manusia-manusia pengejar target, sepanjang umurnya penuh dengan kelelahan, bukan hidup cukup penuh ketenangan.

Sebelanga minyak mengajak Nusantara bersatu. Kembali menempatkan minyak sebagai penyedap dan bumbu.

Baca juga: 5 Manfaat Memakai Minyak Kelapa untuk Kulit

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com