KOMPAS.com - Bicara soal tiger parenting, pola pengasuhan ini disebut-sebut melahirkan anak yang berdisiplin tinggi dan berprestasi.
Namun, di balik ketenarannya, sebagian orang tidak setuju dengan pola pengasuhan itu lantaran dinilai memberikan dampak buruk bagi si buah hati.
Dilansir dari Very Well Family, tiger parenting adalah pola pengasuhan ketat dan otoritatif supaya anak yang dibesarkan sukses.
Istilah tiger parenting mulai populer ketika penulis Amy Chua membagikan kisahnya dalam buku berjudul "Battle Hymn of the Tiger Mom".
Kendati demikian, tiger parenting sudah diterapkan sejak abad kelima ketika filsuf yang juga mahaguru asal Tiongkok, Konfusius, mencetuskannya.
Anak yang dibesarkan dengan cara tiger parenting mendapat dorongan untuk memenuhi harapan yang tinggi dari orangtua.
Si buah hati juga tidak diberikan banyak kesempatan untuk berdiskusi dengan orangtuanya karena pola pengasuhan ini begitu ketat.
Baca juga: Apa itu Tiger Parenting? Metode yang Dewakan Kesuksesan Anak
Nah, ketika orangtua menerapkan tiger parenting kepada anaknya, mereka akan melakukan beberapa hal sebagai berikut.
Ketika orangtua menerapkan tiger parenting, mereka fokus pada kerja keras anak dan mengorbankan work life balance demi kesuksesan jangka panjang.
Ini artinya, anak yang dibesarkan dengan pola pengasuhan itu tidak diberikan banyak ruang untuk bersenang-senang, seperti pergi ke acara ulang tahun atau pesta bersama teman.
Orangtua yang membesarkan anaknya dengan tiger parenting juga melarang keras si buah hati mengonsumsi alkohol, narkoba, termasuk pacaran.
Ketiga hal tersebut dipandang oleh mereka dapaat mengganggu anak untuk mencapai tujuannya.
Tiger parenting membuat orangtua mentargetkan harapan yang terlalu tinggi untuk anaknya supaya berprestasi dan selalu menjadi yang terbaik.
Anak dibebani tanggung jawab untuk sukses dalam segala hal yang mereka lakukan dan dimarahi apabila gagal.
Ketidakmampuan anak mencapai keberhasilan dipandang oleh orangtua akan mempermalukan nama keluarga.