Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agung Setiyo Wibowo
Author

Konsultan, self-discovery coach, & trainer yang telah menulis 28 buku best seller. Cofounder & Chief Editor Kampusgw.com yang kerap kali menjadi pembicara pada beragam topik di kota-kota populer di Asia-Pasifik seperti Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Bangkok, Dubai, dan New Delhi. Founder & Host The Grandsaint Show yang pernah masuk dalam Top 101 podcast kategori Self-Improvement di Apple Podcasts Indonesia versi Podstatus.com pada tahun 2021.

Membumikan Stoicism

Kompas.com - 20/10/2022, 06:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tidak mengherankan bila penulis Peaceful Warrior yang legendaris bernama Dan Millman pernah mengatakan bahwa “penderitaan adalah resistensi psikologis kita terhadap apa yang terjadi. Peristiwa dapat menyebabkan rasa sakit fisik, tetapi peristiwa itu sendiri tidak menciptakan penderitaan. Perlawanan menciptakan penderitaan. Satu-satunya masalah dalam hidup kita adalah penolakan pikiran kita terhadapnya saat hal itu terungkap.”

Ketidakbahagiaan kita, pada umumnya, disebabkan oleh pemikiran bahwa kita mengendalikan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.

Dalam arti tertentu, ini seperti berdebat dengan kenyataan, dan itu adalah akar dari banyak, jika bukan sebagian besar masalah kita.

Jadi, pertama-tama menerima bahwa ada hal-hal yang tidak kita kendalikan adalah penting jika kita ingin maju dengan hidup kita.

Kedua, fokus dengan apa yang dapat kita kendalikan. Jika kita tidak dapat mengendalikan dunia, peristiwa eksternal, atau orang lain, apa yang tersisa dalam kendali kita?

Kaum Stoa berpendapat bahwa hanya dua hal yang kita kendalikan secara mutlak, yaitu pikiran dan tindakan kita.

Kita tidak dapat mengontrol dunia di sekitar kita, tetapi kita dapat mengontrol bagaimana kita menanggapinya melalui penilaian dan reaksi kita.

Tak pelak lagi, hal-hal akan terjadi dalam hidup yang tidak dapat kita kendalikan, tetapi persepsi kita tentang peristiwa yang diikuti oleh bagaimana kita menanggapinyalah yang membuat hal-hal ini menjadi baik atau buruk.

Praktik paling penting bagi Stoic adalah membedakan keduanya, dan kemudian fokus pada apa yang dapat kita kendalikan: penilaian dan tindakan sukarela kita, dan pilihan kita.

Kita tidak dapat sepenuhnya mengontrol apa yang terjadi pada kita, tetapi kita dapat mengontrol bagaimana kita melihatnya, dan bagaimana kita memilih untuk merespons dan bereaksi. Di situlah letak kekuatan kita.

Tentu saja, memahami dikotomi ini hanya sebagian saja. Yang juga harus kita lakukan adalah mengingatnya.

Semakin kita mengingatkan diri kita akan hal ini, semakin sedikit kita akan menderita ketakutan dan kecemasan, dan semakin mudah bagi kita untuk menginvestasikan energi dan upaya kita untuk menjadi orang yang kita inginkan.

Ketiga, memikirkan kematian. Kita semua tahu bahwa kita akan mati kelak, namun kita hidup seolah-olah hidup kita akan bertahan selamanya.

Jadi, sebaiknya kita tidak membuang banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak penting dan tidak melakukan apa-apa untuk menggerakkan kita ke arah yang ingin kita tuju.

Kita seringkali membuang waktu, dan kemudian kita mengeluh bahwa kita tidak memiliki cukup waktu. Padahal, kematian menggantung di atas bahu kita dengan setiap detik yang berlalu.

Kenyataannya adalah bahwa hidup ini cukup lama untuk melakukan apa yang penting bagi kita. Bisa kita anggap singkat karena tidak ada waktu untuk disia-siakan. Waktu kita di dunia ini terbatas.

Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa kita putar kembali. Jadi, kita tidak boleh menghabiskannya untuk hal-hal sepele atau tidak perlu.

Jika kita ingin bahagia, kita harus membiarkan pikiran tentang kematian mengubah hubungan kita dengan waktu. Biarlah itu mengajari kita untuk hadir sepenuhnya, dan memanfaatkan setiap momen sebaik-baiknya.

Kenyataannya adalah bahwa hidup ini singkat jika kita membuang-buang waktu. Waktu adalah satu hal yang tidak akan pernah bisa kembali.

Oleh karena itu, kita arus menggunakan waktu dengan bijak. Jadi, mari renungkan kematian. Biarkan itu memperjelas siapa yang kita inginkan.

Kemudian biarkan itu mendorong kita untuk mengambil tindakan yang benar, menggunakan setiap momen untuk menjadi orang yang kita inginkan.

Pikiran tentang kematian tidak perlu membuat kita takut, juga tidak perlu membuat kita tertekan. Sebaliknya, itu justru bisa memotivasi kita.

Faktanya, kematian adalah sumber motivasi terkuat yang pernah ada. Tidak ada yang lebih menarik daripada gagasan bahwa hidup kita atau kehidupan orang yang kita cintai dapat berakhir kapan saja.

Ini menciptakan rasa urgensi dan mendorong kita untuk mengambil tindakan yang benar-benar membuat hidup kita bermakna.

Itu memotivasi kita untuk secara agresif mengejar apa yang penting, memenuhi kita dengan tujuan, dan juga mendorong kita untuk bertindak benar.

Untuk menjadi orang yang kita inginkan, kita harus merenungkan kefanaan kita, dan kita harus sering melakukannya. Hanya melalui pengetahuan bahwa hidup kita suatu hari nanti akan berakhir, kita dapat belajar untuk benar-benar menjalaninya.

Keempat, menginginkankan lebih sedikit. Salah satu pelajaran paling menonjol dalam Stoicism adalah belajar untuk menginginkan lebih sedikit.

Kebanyakan orang percaya bahwa kebahagiaan muncul dengan memperoleh lebih banyak dari sesuatu. Kita percaya bahwa kebahagiaan adalah memiliki lebih banyak hal seperti kesuksesan, uang, ketenaran, bakat, atau harta benda.

Begitu kita mencapai hal-hal ini, kita percaya masalah kita akan hilang, dan akhirnya kita bisa bahagia dengan hidup kita.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com