Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Laurentius Purbo Christianto
Dosen

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Kesepian Itu Mematikan: Di Balik Peningkatan Kasus Bunuh Diri di Singapura

Kompas.com - 14/07/2023, 16:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com pada 1 Juli 2023, memberitakan kasus bunuh diri di Singapura naik ke level tertinggi selama 22 tahun terakhir.

Samaritans of Singapore (SOS) melaporkan pada 2022, kasus bunuh diri di Singapura naik 25,9 persen. Ada 476 orang yang melakukan bunuh diri pada 2022, angka ini naik dari 2021 sebanyak 378 orang bunuh diri.

Peningkatan kasus bunuh diri di negara maju seperti Singapura, adalah fenomena yang perlu digali lebih dalam.

Pada 2021, ekonomi Singapura tumbuh 7,6 persen. Tahun 2022, walupun turun tajam, tetapi ekonomi Singapura tetap tumbuh 3,6 persen.

Kompas.com pada 30 Juli 2021, memberitakan Singapura adalah negara maju; negara dengan sokongan sumber daya manusia (SDM) unggul.

Kemajuan Singapura bahkan menarik bagi warga negara Indonesia. Kompas.com pada 11 Juli 2023, memberitakan setiap tahun ada 1.000 mahasiswa dari Indonesia (usia 25-35 tahun) yang beralih menjadi warga negara Singapura.

Fenomena ini menarik, saat banyak warga negara lain berminat masuk menjadi warga negara Singapura, ternyata ada peningkatan angka bunuh diri di sana.

Terkait kasus-kasus bunuh diri ini, Samaritans of Singapore memfokuskan perhatian pada individu usia muda 10-29 tahun dan individu usia tua 70-79 tahun.

Bunuh diri adalah penyebab utama kematian individu yang berusia 10-29 tahun, selama empat tahun berturut-turut. Pada kelompok individu muda ini terdapat peningkatan kematian akibat bunuh diri sebesar 11,6 persen.

Peningkatan kasus bunuh diri tidak hanya terjadi pada kelompok individu muda, tetap juga terjadi pada kelompok orang tua.

Pada penduduk berusia 70-79 tahun terjadi peningkatan kematian akibat bunuh diri sebesar 60 persen. Ini adalah peningkatan tertinggi dibandingkan kelompok usia lain.

Secara psikologis, apa yang sebenarnya terjadi pada dua kelompok usia yang berbeda jauh ini?

Jika merujuk pada salah satu teori dalam psikologi, teori perkembangan psikososial milik Erik Erikson, maka sebenarnya dari dua kelompok usia tersebut akan terbagi ke dalam empat kelompok usia, yaitu usia sekolah (6-11 tahun), remaja (12-18 tahun), dewasa muda (19-40 tahun), dan usia matang (di atas 65 tahun). Empat kelompok usia ini memiliki karakteristik berbeda.

Pada usia sekolah (6-11 tahun) anak mulai belajar secara formal dan mengembangkan keterampilan mereka. Hal ini membuat anak juga mulai belajar berkompetisi dan mulai membandingkan diri dengan anak lain.

Di situasi seperti ini jika anak berhasil mengembangkan keterampilan mereka, dan karena itu mereka didukung, maka mereka akan semakin merasa kompeten dan terdorong untuk bekerja keras.

Sebaliknya jika anak dibanding-bandingkan dengan anak lain dan dianggap tidak mampu, mereka bisa merasa inferior, rendah diri, dan kurang percaya diri.

Inferioritas bisa mematikan. Inferior dapat membuat anak merasa keberadaannya tidak diinginkan, tidak layak “hidup”, dan tidak dihargai.

Pada usia remaja (12-18 tahun) individu mulai mencari identitas. Remaja akan banyak mencoba berbagai peran, aktivitas, dan mungkin komunitas untuk menjawab “Saya ini siapa?”, “Saya ini apa?”, dan “saya ada untuk apa?”

Remaja yang beruntung akan mendapatkan dukungan dan kesempatan guna mengeksplorasi identitas; mereka akan mendapatkan tugas dan peran yang sesuai minat dan bakat; memiliki aktivitas menyenangkan dan membuat mereka bersemangat; atau komunitas yang menerima dan mendukung pertumbuhan diri.

Sayangnya tidak semua remaja seberuntung itu. Remaja yang tumbuh dalam “harapan” orang lain yang ketat, bisa jadi mengalami kebingungan identitas.

Identitas yang orang lain bawakan ternyata dirasa tidak cocok dengan diri mereka yang sebenarnya.

Pada kelompok dewasa muda (19-40 tahun) individu sebenarnya masuk dalam periode membangun intimasi.

Individu secara alamiah akan mencari hubungan lebih intim, baik hubungan persahabatan yang lebih dalam, maupun hubungan romantis yang lebih intim.

Jika individu berhasil membangun keintiman, maka inidvidu akan merasa berarti, berguna, dan bermanfaat. Hanya saja, membangun keintiman bukan hal mudah.

Usia 19-40 tahun adalah usia kerja. Usia individu bekerja keras dan berkompetisi untuk membangun karier.

Tidak sedikit orang yang tenggelam dalam pekerjaan dan karier hingga mengabaikan (atau kurang memperhatikan) proses membangun intimasi.

Orang seperti ini bisa jadi menghabiskan sebagian besar dari 24 jam yang tersedia per hari untuk bekerja.

Berangkat ke kantor saat matahari baru saja muncul, dan pulang ke rumah saat malam. Sampai di rumah bisa jadi mereka juga “sendiri”.

Akhirnya mereka menutup hari dengan masuk ke kamar tidur dan sambil menunggu rasa kantuk tiba, mereka menghabiskan waktu dengan melihat film, bermain game, atau membaca buku.

Mereka tidak membangun intimasi. Hidup yang setiap hari seperti ini bisa membuat individu merasa kesepian. Sama seperti inferioritas, kesepian juga mematikan.

Kesepian ternyata juga tantangan bagi individu usia matang (di atas 65 tahun). Pada usia ini individu akan mulai mengevaluasi kehidupan yang sudah dijalani. Hasil dari evaluasi bisa berwujud rasa syukur, tetapi bisa juga rasa putus asa.

Saat pikiran mulai mengevaluasi diri, sebenarnya dibutuhkan orang lain yang memberi peneguhan dan makna positif, terlepas dari seburuk apapun evaluasinya.

Hanya saja, karena sendiri, maka dalam kesepian para individu senior ini mengevaluasi diri mereka sendiri.

Pada individu yang melihat semuanya baik-baik saja, rasa syukur akan muncul; tetapi pada individu yang merasa bahwa masih banyak PR (pekerjaan rumah) dalam hidup, akan muncul putus asa. Putus asa adalah salah satu langkah pikiran menuju pengakhiran hidup.

Samaritans of Singapore menyatakan bahwa peningkatan kasus bunuh diri di Singapura melukiskan gambaran tentang tekanan mental yang tak terlihat di masyarakat, terutama di kalangan kaum muda dan orang tua.

Isolasi sosial dan kesepian pada individu perlu diperhatikan sebagi salah satu usaha mengatasi hal ini.

Fenomena peningkatan kasus bunuh diri di Singapura sebenarnya bisa menjadi pelajaran untuk Indonesia. Di balik SDM yang terampil dan unggul ternyata ada tekanan mental yang tidak terlihat.

Setiap manusia di Singapura dituntut untuk berjuang, bahkan dalam kesendirian, supaya menjadi unggul dan berhasil.

Walaupun di Indonesia, kita di manapun bisa menyapa dan membangun percakapan dengan orang yang baru kita kenal, tetapi rasa kesepian, kesendirian, dan perilaku mengisolasi diri juga semakin marak terjadi.

Tidak semua orang dapat mengatasi tekanan yang terjadi saat berjuang untuk berhasil dan unggul. Akan ada individu yang tangguh dan tidak goyah saat diterpa “badai”, tetapi ada pula yang mungkin tumbang karenanya.

Supaya itu tidak terjadi, maka isolasi dan kesepian harus diatasi. Dukungan dari teman, sahabat, pasangan, keluarga, komunitas, institusi, atau bahkan negara akan berarti bagi setiap individu guna mengatasi “kesepian” dan “kesendirian”.

Mustahil kita menghilangkan tekanan dan tuntutan hidup. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan saling menyapa, memberi perhatian, dan dukungan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com