Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukan FOMO tapi JOMO, Cara Terbaik Menikmati Rasa Tertinggal

Kompas.com - 05/10/2023, 13:00 WIB
Ryan Sara Pratiwi,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Banyak dari kita pasti pernah mendengar istilah FOMO- fear of missing out, atau yang dikenal juga sebagai rasa takut ketinggalan akan sesuatu hal yang sedang menjadi tren.

Dengan FOMO, kita cenderung merasa khawatir tentang orang lain yang bersenang-senang tanpa kita.

Misalnya, kita melihat teman-teman kita makan malam di restoran baru yang populer, atau mereka semua mendapatkan kursi di barisan depan untuk konser yang keren. Dan kita tidak ada di sana.

Meskipun beberapa orang sangat cemas karena FOMO, di sisi lain ada pula orang-orang yang justru tidak merasa tertinggal dengan hal-hal tersebut.

Bagi mereka, menghabiskan waktu untuk membaca buku yang bagus atau menonton acara memasak adalah hal yang paling disukai.

Dan jika itu yang terjadi pada kita, maka kita mungkin mengalami JOMO- joy of missing out, atau rasa senang karena ketinggalan.

Baca juga: Apa Itu FOMO, Penyebab dan Dampaknya pada Kesehatan

JOMO merupakan kemampuan untuk fokus melakukan hal yang benar-benar membuat kita bahagia.

Ini bukan berarti kita duduk di rumah sendirian tanpa kehidupan sosial, melainkan kita lebih selektif dengan apa yang kita lakukan tanpa mengkhawatirkan apa yang orang lain lakukan.

Nah mengenai JOMO, psikolog di Cleveland Clinic, Susan Albers, PsyD menjelaskan bagaimana JOMO bekerja dan  cara agar kita dapat mengubah FOMO menjadi JOMO.

Apa itu JOMO?

JOMO, atau kebahagiaan karena ketinggalan, bukanlah sebuah konsep baru. Faktanya, kita semua mungkin pernah mengalami JOMO (dan FOMO) pada satu waktu.

"Makna dari JOMO adalah benar-benar merangkul gagasan untuk menemukan kebahagiaan dan kepuasan, memilih untuk tidak melakukan atau melewatkan kegiatan, dan memprioritaskan perawatan diri," kata Albers.

"Ini sangat membantu karena benar-benar menempatkan fokus yang lebih besar pada memilih secara sadar apa yang ingin kita ikuti, bukan pada apa yang membuat kita merasa tertekan untuk mengikutinya," sebut dia.

JOMO adalah tentang memilih apa yang ingin kita lakukan, dan jika kita memutuskan untuk melewatkan hal-hal yang sedang tren, kita tidak akan merasakan rasa bersalah atau FOMO yang biasanya kita rasakan.

Dan ini juga tentang menyadari bahwa kita mungkin akan merasa lebih puas hanya dengan melakukan aktivitas sederhana seperti berjalan-jalan di taman, atau merencanakan malam bersama sahabat dekat.

"JOMO memungkinkan kita untuk menjadi otentik dan jujur pada diri sendiri, tentang apa yang benar-benar ingin kita lakukan dan apa yang kita hargai," kata Albers.

Hal ini tampaknya lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Terlebih, media sosial sangat berperan penting dalam meningkatkan jumlah orang yang merasakan FOMO.

Sangat mudah untuk menelusuri feed teman-teman dan melihat apa yang mereka lakukan dan merasakan emosi seperti kesedihan, kebencian, dan kecemburuan.

Baca juga: Event Lari Bukan Ajang FOMO, Awas Risiko Cedera hingga Berakibat Fatal

Maka, salah satu penangkalnya adalah dengan mengambil langkah mundur dari media sosial.

"JOMO juga mendorong kita untuk lebih fokus pada kualitas dari apa yang kita lakukan daripada kuantitas," kata Albers.

"Alih-alih mengikuti semua hal, kita hanya benar-benar fokus pada aktivitas atau hubungan yang sangat berarti saja," ungkap dia.

 

Manfaat JOMO

JOMO memiliki sejumlah manfaat yang positif bagi kehidupan kita, antara lain:

• Meningkatkan produktivitas dan fokus.

• Meningkatkan keterlibatan dalam hubungan.

• Meningkatkan kesejahteraan emosional dan fisik.

Tetapi, meskipun ada banyak alasan positif untuk JOMO, bukan berarti kita harus berusaha untuk menjalani kehidupan JOMO setiap harinya.

"Jika ada sisi negatif dari JOMO, FOMO sering kali dapat menjadi motivasi untuk keluar dari zona nyaman dan mengeksplorasi hal-hal baru," kata Albers.

"Dan melihat apa yang dilakukan orang lain dapat memberikan kita ide-ide baru yang tidak terpikirkan sebelumnya," ujar dia.

Lalu, bisa jadi mudah bagi tipe kepribadian tertentu, seperti introvert, untuk tertarik pada ide JOMO.

"Karena kita tidak masalah jika harus melewatkan banyak acara sosial untuk menikmati waktu yang tenang," kata Albers.

"Orang yang memiliki FOMO cenderung ekstrovert. Mereka suka bersosialisasi dan suka pergi keluar," terang dia.

Idealnya, hidup kita akan dipenuhi dengan momen FOMO dan momen JOMO.

Baca juga: Pemburu Konser dan Fenomena Perilaku FOMO

"Yang satu tidak lebih baik dari yang lain. Keduanya memiliki manfaat dan tantangannya masing-masing," tambah Albers.

Cara mengubah FOMO menjadi JOMO

Albers juga berbagi tips untuk mengubah FOMO menjadi JOMO dengan cara-cara sebagai berikut:

• Menikmati waktu bebas dari media sosial

Menurut Albers, membatasi media sosial dapat mengurangi perbandingan yang kita lakukan terhadap diri sendiri dengan orang lain.

"Ketika kita beristirahat sejenak dari media sosial, kita akan menyadari bahwa FOMO yang kita rasakan sedikit berkurang dan hal ini memberikan kesempatan untuk lebih fokus pada tujuan, hasrat, dan juga meningkatkan rasa kepuasan diri," kata dia.

Mungkin sulit untuk tidak menggunakan media sosial. Tapi kita perlu melihat dengan seksama berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk membuka aplikasi seperti Instagram dan TikTok.

Lalu, berfokuslah untuk mengurangi jumlah tersebut dari waktu ke waktu.

Misalnya, jika kita biasanya menghabiskan waktu sekitar empat jam sehari di media sosial, mulailah dari yang kecil dengan menguranginya menjadi tiga setengah jam, kurangi setengah jam setiap hari sampai kita mencapai tujuan.

• Menetapkan batasan

Albers mengatakan, penting untuk menetapkan batasan di semua bidang kehidupan.

"Cobalah untuk lebih selektif dalam mengatur waktu," sarannya.

Pertimbangkan apakah berpartisipasi dalam suatu acara atau kegiatan akan membuat kita merasa senang.

Jika kita tahu bahwa kita akan merasa tidak nyaman atau merasa kita hanya mengatakan "ya" untuk menyenangkan orang lain, mungkin ada baiknya kita memikirkan kembali untuk hadir dalam sebuah acara.

Baca juga: Konser Music of the Spheres Coldplay: Saat Jebakan FOMO dan Efek Veblen Bersatu

• Berani berkata tidak

Mengatakan tidak sejalan dengan menetapkan batasan.

"Tidak apa-apa untuk mengatakan tidak," tegas Albers.

"Kita mungkin perlu merasa nyaman untuk mengatakannya. Dan ini juga tentang tidak meminta maaf karena mengatakan tidak."

"Kita tidak perlu mempertahankan keputusan kita atau memberikan penjelasan," terangnya.

Mengatakan tidak juga bisa membuat kita menjadi lebih mudah setelah beberapa kali kita memutuskan untuk memprioritaskan diri sendiri dan kesejahteraan kita.

Yang terpenting adalah bagaimana kita mengakui undangan atau permintaan orang lain dan berterima kasih atas hal tersebut. Kita hanya ingin bersikap tegas, tetapi bukan berarti tidak baik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com