JAKARTA, KOMPAS.com — Tubuh yang tampak tidak terlalu besar bisa masuk kategori kelebihan berat atau obesitas bila diukur dengan metode medis yang tepat.
Menurut dr. Maya Surjadjaja, Sp.GK, M.Gizi dari Perhimpunan Dokter Gizi Klinik Indonesia (PDGKI), ada beberapa cara yang bisa dipakai untuk mengukur kondisi tersebut, terutama bagi penduduk Asia Pasifik yang memiliki standar berbeda dengan wilayah lain.
Baca juga:
dr. Maya Surjadjaja, Sp.GK, M.Gizi dari Perhimpunan Dokter Gizi Klinik Indonesia (PDGKI) dalam acara Kolaborasi dan Inovasi untuk Indonesia Sehat: Prioritas pada Isu Obesitas, di Jakarta Selatan, Rabu (24/9/2025)Metode paling umum yang dipakai untuk mengukur obesitas adalah Indeks Massa Tubuh (IMT).
“Kita masih pakai yang klasik biasanya pakai IMT, berarti berat badan dalam kilogram, kemudian dibagi tinggi badan dalam ukuran meter,” jelas Maya dalam acara Kolaborasi dan Inovasi untuk Indonesia Sehat: Prioritas pada Isu Obesitas, di Jakarta Selatan, Rabu (24/9/2025).
Hasil penghitungan IMT ini bisa menunjukkan apakah seseorang memiliki berat badan normal, kelebihan, atau sudah masuk kategori obesitas.
“Kalau hasilnya di atas 23 itu sudah termasuk kelebihan berat badan untuk orang Asia Pasifik. Sementara kalau di atas 25 itu sudah obesitas,” katanya.
Maya menambahkan, perbedaan standar ini penting karena risiko penyakit kronis di Asia Pasifik cenderung muncul pada angka IMT yang lebih rendah dibandingkan populasi Eropa atau Amerika.
Baca juga:
Banyak orang masih beranggapan bahwa obesitas hanya bisa terlihat dari tubuh yang tampak besar. Padahal, hal tersebut tidak sepenuhnya benar.
“Terkadang kelihatannya badannya enggak terlalu besar tapi IMT-nya sudah menunjukkan kelebihan berat,” jelas Maya.
Oleh karena itu, penting untuk tidak hanya menilai dari visual. Pengukuran obyektif dengan angka jauh lebih akurat dalam menentukan kondisi kesehatan.