Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 25/04/2017, 21:06 WIB
Wisnubrata

Penulis

Sumber Fatherly

Sudah umum bila para orangtua seringkali kewalahan mengatur anaknya. Maka sejak jaman kakek nenek pulalah kita mendengar berbagai cerita dan kebiasaan menghukum anak agar menurut. Metode hukuman yang dilakukan seringkali menjadi kebiasaan yang diterima sebagai sesuatu yang wajar dari generasi ke generasi.

Namun kini, ada beberapa cara menghukum yang sudah tidak relevan lagi untuk membuat anak menjadi menurut. Alih-alih mengajarkan disiplin, beberapa jenis hukuman malah bisa menimbulkan trauma dan luka batin pada anak. Apa sajakah cara-cara yang sebaiknya sudah tidak kita pakai lagi?

Pukulan di Bokong

Dahulu, bokong dianggap sebagai tempat yang wajar untuk dipukul karena tidak akan meninggalkan luka fisik. Bahkan pada tahun 2014, dalam sebuah study, ada 76 persen ayah dan 65 persen ibu menganggap pukulan di bokong boleh saja dilakukan untuk menghukum anak.

Untunglah praktek seperti itu sudah banyak berkurang, karena berdasarkan penelitian, hukuman seperti itu ternyata tidak efektif, bahkan kontra produktif.

Study tahun 2016 yang dipublikasikan di Journal of Family Psychology meneliti kembali data riset 50 tahun tentang 160.000 anak yang pernah dihukum dengan pukulan di bokongnya. Berdasarkan data itu, para peneliti menemukan bahwa jenis hukuman itu kurang berhasil mengubah perilaku nakal pada anak.

Sebaliknya, pukulan pada bokong justru memunculkan perilaku yang tidak sehat, trauma mental, sifat agresi, dan kecenderungan anak menjadi anti sosial. Lebih buruk lagi, hukuman seperti itu justru menjadi semacam pelecehan terhadap anak.

Oleh karenanya para ahli menyarankan agar orangtua tidak lagi menggunakan hukuman itu terhadap anak. Menurut penulis buku “No Drama Discipline” Daniel J. Siegel dan Tina Payne Bryson, kontak fisik memang bisa menjadi cara yang ampuh. Namun daripada melakukannya dengan “kekerasan”, lebih baik bila kita jongkok setara dengan tinggi anak, lalu memberi sentuhan yang lebih lembut agar mereka fokus.

Berteriak kepada anak

Saat perilaku anak ribut dan menjengkelkan, kita sering kehilangan kesabaran lalu berteriak menyuruh mereka berhenti berulah. Benarkah cara itu? Ternyata tidak.

Cara yang lebih baik dan lebih berhasil untuk membuat anak berhenti berulah adalah dengan mendekatinya dan berbicara dengan suara tenang. Itu adalah taktik agar anak mengikuti suasana itu dan memahami bagaimana sebaiknya berbicara. Selain itu, bila kita bicara pelan, anak akan berusaha mendengar dan menghentikan teriakannya.

Menurut para peneliti pendidikan anak, sikap marah dan frustasi justru akan memancing teriakan lebih keras lagi dari anak. Bila itu menjadi kebiasaan, anak akan menganggap hal itu sebagai yang lumrah sehingga tidak berusaha mengubah sikapnya. Namun komunikasi yang lembut dan tenang akan menghadirkan suasana yang lebih efektif untuk memberi tahu anak.

Mendidik dengan keras

Ada cara yang dianggap benar untuk menghasilkan anak yang baik dan penurut. Yakni dengan didikan yang keras. Namun cara itu ternyata tidak mendorong anak untuk memunculkan rasa empati. Selain itu cara yang keras juga tidak adil karena orangtua tidak menjadi model dalam berperilaku seperti yang mereka tuntut terhadap anak. Ini seolah kekuasaan mutlak yang secara sepihak dimiliki orangtua.

Study menyebutkan bahwa tuntutan keras terhadap anak kecil bukan cara yang produktif. Lebih baik jika orangtua memberi penjelasan tentang mengapa hal-hal tertentu perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya.

Halaman:
Sumber Fatherly
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com