Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mengapa Orang Tidak (Bisa) Berubah?

Kompas.com - 05/10/2017, 19:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

Baru di tahap ke empat-lah seseorang yang sudah mantap ingin berubah menjalankan hal baru dan siap menghadapi berbagai kendala.

Dalam perubahan gaya hidup dan pola makan, intervensi mentor sangat dibutuhkan. Banyak pertanyaan akan muncul di tengah perjalanan seseorang melakukan apa yang tadinya ia kenal sebatas teori. Disinilah keterampilan mentor menjadi kunci keberhasilan.

Saat itu pula seseorang harus bisa melihat hasil yang dicapai, dibandingkan dengan upaya babak belur belum lagi cibiran orang yang mengikuti perubahannya.

Sentilan komen di medsos hingga tatapan merendahkan anggota keluarga (yang sebetulnya juga iri tapi belum bisa berubah) bagi sebagian orang merupakan hantaman besar – yang oleh sebagian kecil orang justru bukan hal yang berarti.

Banyak petugas kesehatan salah menempatkan pasiennya di level empat ini; padahal sang pasien masih di level satu. Itulah sebabnya ocehan gaya hidup sehat hanya didengar sebatas iklan.

Kurun waktu seminggu atau sebulan bagi suatu perubahan besar dalam hidup belum dianggap sebagai kondisi ‘stabil’.

[Baca juga: Bagian Otak yang Hilang Itu Bernama Nurani]

Memelihara perubahan alias ‘maintenance’ merupakan tahap ke lima yang justru bisa jadi lebih sulit dari saat memulai suatu perubahan. Di tahap ke lima ini, kerap yang dihadapi bukan lagi orang lain, melainkan tantangan yang muncul dari diri sendiri. Sebab hidup tidak selamanya berjalan datar.

Sarapan, makan siang dan makan malam tidak selamanya di rumah. Bagaimana jika tugas luar kota? Bagaimana jika ada hajatan? Bagaimana regulasi apa yang dimakan saat berpuasa?

Itulah mengapa ada tahapan ke enam: saat orang tergelincir kembali ke pola lama. Alias ‘kumat’. Berbuka puasa yang semestinya bisa saja ada pilihan takjil lebih sehat, ternyata tergiur oleh jajanan sepanjang mal atau tawaran teman arisan.

Ke luar negri yang juga masih tersedia banyak sayur dan buah melimpah, malah nyasar ke street food.

Tahap relaps atau tergelincir ini membuat orang kadang harus melihat kembali ke tahap yang paling dini: awareness. Dan bertanya kembali ke diri sendiri: penting enggak sih arti perubahan ini buat saya?

Dari tulisan di atas, kita bisa merenung kembali semua ‘program’ yang selama ini diharapkan mampu mengubah kebiasaan, gaya hidup hingga pola makan masyarakat. Jangan-jangan kita masih asik mentok di tahap pertama.

Hanya sebar menyebar informasi, ‘membangunkan orang dari tidur’. Menghabiskan dana untuk deklarasi dan mengingat semboyan. Tapi begitu sedikit yang sudi mengambil tindakan dan kendali untuk berubah.

[Baca juga: Pendapat Ahli Berdasarkan Besarnya Pendapatan]

Nah, begitu sudah ‘kepentok’ – seperti istilah saya bagi pasien yang sudah babak belur habis-habisan – barulah tindakan yang signifikan diambil. Tanpa negosiasi. Sementara kondisi ‘kepentok’ tadi belum terjadi, sebagian besar orang masih bermain dengan skala prioritas.

Tepatnya permainan menang-kalah. Lebih mementingkan pekerjaan, makan seketemunya. Dikira uang yang dihasilkan bisa membuat hidupnya lebih baik (tanpa kesehatan yang dijaga).

Lebih mementingkan karir, perkawinan dianggap sesuatu yang berjalan baik-baik saja (tanpa dicek lagi makna komitmen, keterbukaan, kejujuran, apalagi kepedulian).

Urgensi yang dinegosiasi barangkali lekat dengan ideologi ‘alon alon waton kelakon’ – alias pelan-pelan saja, yang penting kesampaian.

Padahal di saat ‘pelan-pelan’ itu - yang kerap diandaikan proses - ada hal yang lebih dahulu sampai di garis finish: penyakit fatal keujung kematian, kecacatan, bahkan kemiskinan.

Karena banyak penyakit yang kita tiru dari negri seberang bukan berasal dari pulau Jawa, makanya tidak pernah kenal dengan ideologi ‘alon alon waton kelakon’.

[Baca juga: Tetap Fotogenik Tanpa Harus Jalani Ketogenik]

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com