KOMPAS.com - Salah satu pola pengasuhan yang masih banyak diperbincangkan oleh orangtua adalah tiger parenting.
Pola pengasuhan tersebut pertama kali dipopulerkan oleh penulis sekaligus profesor hukum di Yale Law School, Amy Chua.
Dalam bukunya berjudul "Battle Hymn of the Tiger Mom", ia menuliskan pola pengasuhan yang ketat dari kacamata tiger parenting.
Chua sengaja menulis buku itu untuk membagikan pengalamannya tentang menerapkan tiger parenting kepada dua anaknya.
Baca juga: Tiger Parenting, Benarkah Bikin Anak Sukses di Masa Depan?
Tiger parenting sebenarnya sudah ada sejak abad kelima, tepatnya ketika filsuf yang juga mahaguru asal Tiongkok, Konfusius, mencetuskannya.
Filosofi yang dikemukakan sang filsuf mengedepankan struktur keluarga yang hierarkis, loyalitas, dan etos kerja.
Ia juga menekankan pentingnya kejujuran dan komitmen terhadap pendidikan dan prestasi akademik.
Singkatnya, tiger parenting yang dicetuskan oleh Konfusius adalah pola pengasuhan yang memfokuskan anak pada pendidikan.
Tapi, pada implementasinya anak yang dibesarkan dengan pola pengasuhan itu dibatasi atau dilarang untuk liburan, jalan-jalan, bahkan nongkrong.
Orangtua juga memiliki kendali penuh terhadap anak supaya buah hati mereka bisa diterima di perguruan tinggi favorit dan sukses di masa depan.
Walau tiger parenting mendorong anak agar mendapatkan nilai bagus di sekolah dan pekerjaan yang layak, pola pengasuhan ini menuai pro-kontra.
Lantas, apa alasannya?
Pertama-tama, kita bahas dulu kelebihan tiger parenting yang mendorong orangtua menerapkan pola pengasuhan ini kepada anak.
Bagi mereka yang mendukung tiger parenting, pola pengasuhan ini diyakini mendatangkan manfaat bagi anaknya.
Pasalnya, pola pengasuhan yang berfokus pada kedisiplinan dapat mempersiapkan anak menuju masa depan.