Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenali Perilaku Anak yang Berpotensi Jadi Pelaku Bullying

Kompas.com - 29/09/2023, 09:19 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

KOMPAS.com - Dunia pendidikan di Indonesia masih dibayangi oleh bullying (perundungan), baik kekerasan fisik atau verbal. Pada kasus kekerasan bullying anak pun sudah dalam tahap mengkhawatirkan. Tak sedikit yang berujung maut.

Kasus perundungan terbaru dilakukan oleh siswa SMPN Cimanggu, Cilacap, Jawa Tengah. Dalam video yang viral, pelaku bullying mendendang dan memukuli temannya sampai jatuh tersingkir. Korban pun mengalami luka-luka dan harus dirawat.

Ada banyak faktor yang bisa membuat anak menjadi pelaku kekerasan, salah satunya adalah paparan kekerasan yang mereka dapatkan baik dari media, video games, atau mencontoh perilaku orang dewasa di sekitarnya.

"Jika dari kecil anak sudah terpapar kekerasan, ia lebih rentan untuk melakukan," kata psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani M.Psi, yang akrab disapa Nina, saat berbincang dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.

Selain itu, menurut Nina, secara umum banyak remaja yang memiliki masalah kesehatan fisik dan mental. Misalnya saja anak mengalami anemia yang berpengaruh pada perkembangan kognitifnya.

"Banyak di antara remaja pelaku bullying yang punya masalah kesehatan mental, misalnya anxiety, depresi, yang memang sering muncul di masa remaja," paparnya.

Baca juga: Mengapa Pelaku Bullying Merasa Bangga Usai Menyakiti Korban? Ini Kata Psikolog

Orangtua atau guru sebenarnya bisa mendeteksi apakah seorang anak memiliki kecenderungan menjadi pelaku perundungan kekerasan.

"Kalau di rumah biasanya anak cenderung tidak mau tahu atau tidak membantu orangtuanya walau mereka sedang sibuk," kata Nina.

Indikasi lain adalah anak yang sering berkata kasar, mudah merusak barang, dan kejam kepada binatang.

Menghadapi anak yang punya kecenderungan tersebut bisa dilakukan dengan memberi respon yang tepat, bukan dengan marah-marah atau menghukum.

"Kalau anak masih kecil sudah sering berkata kasar, abaikan, jangan dimarahi atau diberi perhatian. Nanti kalau dia berkata sopan dan baik, kita beri pujian. Sedangkan pada anak yang lebih besar kita ajak diskusi mana kata-kata yang baik dan tidak baik," saran Nina.

Anak yang suka menyiksa binatang menunjukkan empatinya yang tidak terasah. Perkembangan emosi yang positif, termasuk empati, sangat erat kaitannya dengan hubungan yang harmonis antara anak dan orangtuanya.

Baca juga: Mayoritas Pelaku Perundungan Anak adalah Temannya

Empati dan karakter positif pada anak akan sulit dikembangkan jika mereka tidak punya situasi emosional yang baik di rumah atau tidak pernah diajarkan.

"Anak yang jadi korban kekerasan juga empatinya sulit berjalan. Bagaimana ia bisa cukup sensitif pada orang lain ketika orang lain tidak sensitif kepada dia," katanya.

Skrining kesehatan mental

Orangtua atau guru yang mendapati kecenderungan seorang anak berpotensi jadi pelaku kekerasan perlu segera menanganinya. Misalnya membawa anak untuk melakukan skrining kesehatan mental.

Menurut Nina, skrining kesehatan jiwa saat ini sudah bisa dilakukan di banyak puskesmas.

"Ikatan psikolog klinis Indonesia sudah bekerja sama dengan dokter umum untuk memberikan tools untuk melakukan deteksi kesehatan jiwa," ujarnya.

Skrining kesehatan jiwa diperlukan untuk menggali apakah ada masalah yang sedang dihadapi anak. Dengan demikian bisa segera dilakukan penanganan agar untuk memutus rantai kekerasan.

Baca juga: Dipukuli Pelaku hingga Lebam, Siswa Korban Bullying di Cilacap Jalani Visum

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com