Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Seliweran Tontonan Kekinian soal Gizi, Saatnya Nalar Perlu Diajar

Kompas.com - 31/01/2024, 17:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sembilan puluh persen ‘pengikut’ saya di media sosial adalah kelompok ibu-ibu muda yang belum lama menikah atau punya anak balita.

Dan saya adalah tipe ‘pengayom’ akun yang tidak menggunakan jasa ‘mimin’ (staf administrasi), sehingga otomatis semua komentar atau pesan yang masuk, pasti saya sendiri yang jawab.

Semakin memahami betul lika-liku kehidupan para keluarga muda yang rata-rata berpenghasilan menengah ke bawah, saya semakin prihatin dengan literasi gizi mereka.

Baca juga: Urgensi Pendidikan Gizi Keluarga di Sekolah

Sebagai pengguna super aktif media sosial, kelompok usia produktif 25-40 tahun rupanya sungguh-sungguh menimba apa pun yang ingin diketahui lewat aneka aplikasi, yang menurut mereka sarat informasi yang mudah ditangkap.

Sebutlah TikTok, Instagram, dan Facebook. Hampir-hampir tidak memegang buku panduan (dan tidak paham cara mendapatkannya), ibu-ibu muda belajar tentang tumbuh kembang balita hingga cara pemberian makan anak-anaknya melalui apa yang berseliweran di layar pertama berisi sederetan video pendek, yang merupakan salah satu fitur TikTok – terkenal dengan istilah ‘FYP’ alias for you page.

FYP muncul sebagai ‘pekerjaan mesin’ algoritma aplikasi, yang memindai minat pengguna aplikasi sesuai topik yang sering dicari atau dilihat.

Jika seorang ibu awalnya iseng mencari tahu seputar susu atau makanan bayi, maka akan bertubi-tubi ia dihujani aneka tampilan soal itu. Termasuk iklannya.

Termasuk sajian para kreator konten yang begitu getol mengunggah aneka tontonan demi keuntungan alias cuan. Tidak peduli yang diunggah berisi tuntunan atau sekadar jualan.

Menyadari ‘efektivitas’ keviralan suatu informasi di media sosial, profesional kesehatan dan akademisi sudah tak malu-malu ikutan tampil maksimal – bahkan ada segmen webinar atau seminar yang sengaja dipenggal-penggal.

Lebih kurang ajar, tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab, sengaja mengambil untung dari tayangan orang-orang terkenal untuk dijadikan iklan berjualan produk mereka, menggunakan teknologi kecerdasan artifisial.

Sekali lagi: sasaran pembodohan tentunya untuk yang menonton – dan pas sedang gundah mencari solusi instan dari situasi yang ogah dievaluasi.

Jika mau disebut sebagai negara maju, maka kualitas publik kita mengantisipasi aneka seliweran tontonan itu menjadi taruhan.

Baca juga: Keragaman Pangan Lokal, Masuk Akal atau Delusional?

Masyarakat negara maju yang sesungguhnya, mempunyai literasi yang mumpuni, tidak semudah itu mempercayai informasi.

Di negri ini, pernyataan kontroversial “anak yang mendapat Air Susu Ibu rentan menderita anemia” saja, sudah bikin geger seluruh kepulauan Nusantara.

Bahkan, muncul aneka asumsi ekstrem di masyarakat, seakan-akan semua bayi yang menyusu pada ibunya harus mendapat suplementasi zat besi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com