Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Keragaman Pangan Lokal, Masuk Akal atau Delusional?

Kompas.com - 30/10/2023, 08:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sebelum pemerintah mendengungkan makanan pokok pengganti beras (yang juga tidak disambut baik masyarakat) jargon 4 pilar gizi seimbang sudah lama ada, yang menjadi dasar konsep gizi seimbang sejak ditetapkan oleh Permenkes no.41/2014 sebagai pengganti 4 sehat 5 sempurna.

Bisa ditandai, saat cadangan beras mulai menipis dan risiko impor beras muncul, pasti anjuran pengganti pangan pokok ini muncul.

Bahkan belakangan ini, sorghum dan porang alias iles-iles atau konyaku yang diolah seperti bulir beras menjadi tren di kalangan pegiat diet.

Tak dapat disangkal, padi adalah tanaman sumber makanan pokok bagi sebagian besar populasi Nusantara.

Baca juga: Stunting: Gangguan Gizi Menahun yang Berawal dari Ketidaktahuan Beruntun

Pengaruh budaya, cara, dan jenis makanan di tanah air amat dipengaruhi oleh suku-suku yang memegang peran di bidang pemerintahan, perdagangan hingga gaya hidup.

Sebutlah berbagai suku Jawa dan orang-orang Sumatera memberi kontribusi paling besar bukan hanya di wilayah Indonesia bagian barat, tapi juga hingga ke timur.

Tidak begitu jelas kapan beras pertama kali masuk di Papua, tapi dari sejarah tercatat suku Biak di Numfor sekitar tahun 1700 telah mengonsumsi beras yang bisa jadi akibat pengaruh pendatang pulau Tidore.

Amberkan, Manokwari, dan Raja Ampat adalah wilayah yang telah ditanami padi sejak dahulu. Tapi, seperti di Waigeo Timur dan Barat jenis padinya adalah penghasil beras ketan yang hidup di tanah kering dan bukan untuk konsumsi sehari-hari, melainkan sebagai hadiah atau pesta.

Di awal abad 20, orang-orang Jawa di Papua mulai menanam padi, bahkan di tahun 1951-1953 Pemerintah Belanda mendirikan perusahaan padi Kumbe (Kumbe Rijstproject) yang mendapat dukungan dana Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) – yang diharapkan mencukupi kebutuhan beras di seluruh Nederlands Nieuw Guinea.

Sejak saat itu, Merauke di Papua menjadi salah satu lumbung pangan nasional bersamaan dengan pendatang transmigran yang mengelola ladang-ladang padi di sana.

Istilah ‘food estate’ yang sudah menjadi mimpi kecukupan dan ketahanan pangan nasional sejak era Soeharto -- yang tak pernah tercapai, barangkali menjadi cermin kegagalan jargon keberagaman pangan (makanan pokok).

Mungkin kita perlu menganggap ini sebagai ‘teguran semesta’, saat makanan pokok masih berputar sekitar padi-padian, bahkan iles-iles atau porang pun diproses mirip bulir padi.

Begitu pula ‘beras analog’ dari jagung – ketimbang masyarakat dilatih untuk menikmati pangan utuhnya dalam bentuk aslinya.

Baca juga: Promosi Kesehatan: Iklan Layanan Masyarakat yang Ketinggalan

Invasi pola makan asing

Invasi pendatang dengan pola makannya, ditambah promosi besar-besaran industri pangan tanpa iklan layanan masyarakat yang berimbang, membuat banyak daerah pelosok mengalami renjatan kultur alias culture shock yang lebih banyak ruginya ketimbang untung.

Di Indonesia timur, adorasi nasi membuat istilah ‘bubur kosong’ banyak diberikan orangtua sebagai makanan pendamping air susu ibu (yang juga sudah dalam titik kritis digantikan susu formula).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com