Tulisan ini dibuat pada ketinggian 9700 meter di atas permukaan laut, dalam penerbangan Jakarta – Padang, untuk menghadiri salah satu acara musyawarah nasional Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia.
Stunting masih menjadi isu sentral yang panas di negri ini. Apalagi, Presiden memerintahkan target penurunan stunting hingga 14%, suatu pencapaian nasional yang membuat terengah-engah beberapa daerah yang angkanya masih di atas 30%.
Sementara itu, terminologi stunting sendiri sejak awal tidak dipahami secara komprehensif. Meninggalkan stigma yang membuat banyak orangtua terjebak dengan status penyangkalan.
Baca juga: Mengapa ASI Penting Untuk Mencegah Stunting?
Mirip seperti stigma penyakit TBC, yang hingga kini orang lebih nyaman memberi istilah ‘flek paru’.
Stunting didefinisikan sebagai anak pendek yang dikaitkan dengan kebodohan, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Terlalu menyakitkan bagi para ibu, juga perasaan gagal menjadi orangtua.
Alhasil pembenaran seperti ‘keturunan pendek’, ‘tidak apa pendek asal sehat’, sering terdengar saat penimbangan dan pengukuran tinggi badan anak di Posyandu.
Di luar sana, dengan pemahaman seadanya, banyak orang berlomba-lomba ingin menunjukkan kontribusi mereka terhadap program pengentasan stunting.
Tapi dengan pemahaman yang tidak tepat, akhirnya kontribusi pun bisa melenceng, bahkan membawa dampak negatif.
Sebagian besar orang mengira stunting semata-mata produk dari asupan gizi yang kurang, ehingga dengan ‘menyumbang makanan dan minuman bergizi’, maka masalah bisa selesai.
Di tahun politik yang kian memanas, kampanye diam-diam dilakukan segelintir oknum dengan mendonasikan susu formula, susu lanjutan, hingga produk makanan bayi atau anak yang ‘dianggap bergizi’.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.